Jumat, 01 Mei 2015

MAKALAH SOSIOLOGI KEHUTANAN
HAK MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN DAN SUMBER DAYA HUTAN

Oleh :

LA ODE ZAINAL ABIDIN RZ
D1 B5 05 076

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.000-an pulau, Indonesia juga dikenal sebagai negara "mega-biodiversity" dengan 47 tipe ekosistem utama dan juga dikenal sebagai negara "mega cultural diversity" yang memiliki lebih dari 250 kelompok etnis dengan lebih dari 500 bahasa yang berbeda.
Keberadaan keanekaragaman hayati dan budaya ini bertumpu pada keberadaan masyarakat adat yang hidup dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. AMAN memperkirakan bahwa dari sekitar 210 juta penduduk Indonesia, antara 50 sampai 70 juta diantaranya adalah masyarakat adat, yaitu "penduduk yang hidup dalam satuan-satuan komunitas berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya" (KMAN 1999).
Pengelolaan hutan di Indonesia sampai saat ini belum menunjukan kejelasan tentang hak kepemilikan (property right) atas lahan hutan. Hal ini telah menimbulkan implikasi yang kompleks. Di berbagai tempat terjadi persoalan saling klaim terhadap lahan hutan yang sama; konflik vertikal antara masyarakat dengan perusahaan HPH/IUPHHK, bahkan konflik horisontal antar masyarakat pun dapat dipicu oleh persoalan hak-hak atas hutan.
Diberbagai tempat di Indonesia berlaku hukum adat, antara lain tentang pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnya, penggembalaan
ternak, pemburuan satwa liar dan pemungutan hasil hutan, serta diberbagai areal hutan dikelola secara lestari oleh masyarakat hukum adat sebagai sumber kehidupannya dengan segala kearifannya. Praktek tersebut menunjukan bahwa masyarakat adat telah dan mampu mengelola sumber daya alam termasuk hutannya secara turun-temurun. Pola-pola ini diketahui memiliki sistem yang sangat terkait dengan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman, kebun dan usaha pertanian sehingga bentuknya sangat beragam, dinamis, terpadu yang menghasilkan berbagai manfaat bagi masyarakat dan lingkungan, baik secara ekonomi, sosial budaya, religi, dan ekologi (Suhardjito, Khan, Djatmiko dkk).
B. Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu :
1. Mengetahui peranan masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan dan SDH serta Mengetahui Keberadaan wilayah masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia.
2. Mempelajari beberapa studi kasus yang terjadi antar masyarakat adat terhadap kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan dan sumber daya hutan.
3. Makalah ini mencoba untuk mengkaji karakteristik dari perundang-undangan yang digunakan sebagai instrumen hukum terhadap peranan masyarakat adat dalam pengelolaan SDH.

II. PEMBAHASAN
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 37 ayat 5 bahwa pemanfaatan hutan adat adalah segala bentuk usaha yang menggunakan hutan adat untuk dimanfaatkan secara optimal. Hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. UU No. 41/99 menggambarkan masih kuatnya keinginan pemerintah dalam hal ini Dephutbun untuk tetap mempertahankan kontrol dan penguasaan terhadap kawasan hutan dan sumberdaya hutan, sekalipun kontrol dan penguasaan tersebut selama ini telah mengakibatkan menurunnya kuantitas dan kualitas hutan serta terjadinya konflik-konflik di lapangan antara pemerintah maupun pengusaha di satu pihak dengan rakyat di pihak yang lainnya.
Sedangkan Masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi politik, budaya dan sosial yang khas. Dalam teori ekologi-manusia, hubungan manusia dengan lingkungannya (sumber daya alamnya) dijelaskan oleh Merchant (1996) sebagai suatu hubungan yang terbagi atas tiga paradigma yang mempunyai dasar pemikiran yang berbeda-beda.
Masyarakat adat merupakan suatu kesatuan masyarakat adat yang bersifat otonom dimana mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik, ekonomi dsb) dan selain itu bersifat otohton yaitu suatu kesatuan masyarakat adat yang lahir/dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan dibentuk oleh kekuatan lain misal kesatuan desa dengan LKMDnya. Kehidupan komunitas-komunitas masyarakat adat kini tidak sepenuhnya otonom dan terlepas dari proses pengintegrasian ke dalam kesatuan organisasi kehidupan negara bangsa yang berskala besar dan berformat nasional (Wignyosoebroto, 1999).
Hutan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni di antara kedua komponen ekosistem tersebut. Hukum adat dan sistem kepercayaan asli tentang hutan merupakan pranata sosial yang paling penting bagi masyarakat untuk mengamankan sumberdaya di dalam kawasan hutan adat dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh pihak-pihak dari luar.
Pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan ini, lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan secara sistematis oleh Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa, sengaja dihancurkan. Sampai awal dekade 1970-an, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar Jawa. Masyarakat adat, yang pada waktu itu belum banyak diintervensi
oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatera Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak jaman Kolonial Belanda. Perubahan yang sangat drastis baru mulai terjadi di awal 1970-an ketika Rejim Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi HPH.
Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Pelaksanaan sistem konsesi HPH ini merupakan tindakan perampasan terhadap hak-hak masyarakat adat atas hutan yang berada di wilayah adatnya. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong atau lahan pertanian. Dengan kondisi yang demikian bisa dipastikan bahwa penebangan kayu secara besar-besaran telah merusak hutan adat sebagai jantung kehidupan sebagian besar masyarakat adat penghuni hutan di nusantara. Hasil pemetaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia (1999) menunjukkan bahwa laju deforestasi selama periode 1986 - 1997 sekitar 1,7 juta hektar per tahun. Selama periode itu kerusakan hutan paling parah terjadi di Sumatera dengan kehilangan 30% (hampir 6,7 juta ha) hutannya. Forest Watch Indonesia dan Global Forest
Watch (2002) memperkirakan bahwa jika kecenderungan ini terus berlangsung maka hutan dataran rendah bukan rawa di Sumatera akan punah sebelum tahun 2005, sedangkan hutan Kalimantan diperkirakan mengalami hal yang sama tahun 2010.
A. Penegakan Hukum Adat
Walaupun mengalami tekanan berat, banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Di banyak wilayah adat di pelosok nusantara masih ditemukan kawasan-kawasan hutan adat yang masih alami, bebas dari kegiatan penebangan kayu besar-besaran dan juga bertahan dari berbagai jenis eksploitasi sumberdaya alam lainnya, hanya dengan mengandalkan pengelolaan yang diatur dengan hukum adat. Banyak cerita sukses masyarakat adat dari pelosok nusantara mengusir proyek-proyek pembangunan yang merusak hutan adat. Di Lombok Utara, masyarakat adat melakukan perlawanan keras dan berhasil mengusir HPH PT. Angka Wijaya karena perusahaan ini melakukan penebangan haram di bagian kecil kawasan hutan yang sakral secara adat. Keprihatinan dan solidaritas bersama untuk menyelamatkan hutan adat ini bahkan berhasil menjadi basis pengorganisasian masyarakat adat untuk berjuang bersama mewujudkan otonomi desa adat dengan terbentuknya Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (PEREKAT OMBARA), bahkan dalam lewat organisasi ini
masyarakat adat sedang mempersiapkan diri untuk menjadi kabupaten sendiri, terpisah dari Kabupaten Lombok Barat.
B. Membangun Organisasi Masyarakat Adat
Perekat Ombara (Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara) adalah sebuah wadah yang dibangun untuk memperkuat solidaritas masyarakat di Lombok Utara. Perekat Ombara dideklarasikan pada gundem (pertemuan) V tokoh-tokoh kepala desa dari 25 desa di Lombok Utara tanggal 9 Desember 1999 di desa Bencingah, kec. Bayan. Berdasarkan hasil gundem Badan Pekerja Perekat Ombara pada tanggal 6 Mei 2000, maka visi Perekat Ombara adalah Membangun tatanan masyarakat yang berdaulat, demokratis dan transformatif, misi Perekat Ombara adalah Memberdayakan masyarakat adat dalam semua aspek pembangunan kekinian. Perekat Ombara adalah sebuah gerakan masyarakat yang berakar kepada persamaan budaya seluruh masyarakat yang ada di Lombok Utara.
Latar belakang terbentuknya Perekat Ombara adalah didasari bahwa peran serta masyarakat dan institusinya adalah sebagai subyek pembangunan. Dengan adanya otonomi pemerintahan desa, seharusnya dijadikan upaya strategis untuk melaksanakan revitalisasi dan reaktualisasi kearifan budaya lokal agar sistem perundang-undangan yang dibuat dapat mengakomodir kepentingan masyarakat.
Kearifan budaya lokal diapresiasikan oleh sebuah komunitas masyarakat yang terikat kuat secara hukum, sosial, budaya dalam bentuk seperangkat aturan-
aturan yang disebut hukum adat, atau yang di Lombok dan Bali disebut awig-awig. Implementasi sistem penguatan institusi masyarakat dan pranata lokal berbasis rakyat dilakukan dengan cara membuka ruang seluas-luasnya untuk merancang pembangunan di tingkat desa secara demokratis dan transparatif.
Demokrasi ala Lombok Utara adalah dengan menggali roh kehidupan masyarakat dalam sistem kepemimpinan kolektif. Kekuasaan tidak tunggal dipegang Kepala Desa tetapi bagian dari kepemimpinan kolektif diantara pemimpin lainnya, yang disebut dengan wet tu telu (wet = wilayah teritorial; tu = orang; telu = tiga) atau masing-masing teritorial (wilayah) punya pemimpin sendiri yaitu : wet agama, wet adat istiadat, dan wet pemerintah. Wet agama dipimpin oleh kiai, bikku atau pedanda sebagai pemegang norma agama, Wet adat istiadat dipimpin oleh seorang mangku (aparat) dengan sub-sub mangkunya, seperti mangkubumi (perairan), mangku alas (lingkungan hutan), dan lain-lain. Para mangku berperan sebagai perumus dan penentu awig-awig, pemberian sanksi adat dan pemimpin acara ritual adat. Wet pemerintahan dipimpin oleh pamusungan (kepala desa, berarti pucuk pimpinan utama). Kepemimpinan wet tu telu pernah dilakukan pada zaman kolonial Belanda dan orde lama sebelum diuniformisasi dengan UU no 5/1974 dan UU no 5/1979 tentang pemerintahan desa.
Dalam tubuh Perekat Ombara tidak saja dihasilkan mengenai kesepakatan, tetapi juga dihasilkan struktur dan pengurus yang bertugas untuk menggerakkan dan mendinamisir Perekat Ombara (juru urus), struktur kepengurusan dilengkapi
dengan Mahkamah Adat yang berfungsi sebagai wadah untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran adat (rat sasak). Revitalisasi majelis krama adat, sebagai aplikasi dari kekuatan trias politica, dilakukan dari krama gubug (tingkat RT dan RW ) hingga krama desa.
Uniknya, seluruh gerakan ini bukan dimulai dari sebuah gagasan besar solidaritas masyarakat adat, namun dari hasil keprihatinan terhadap degradasi lingkungan hutan. Menurut Kamardi, Pamusungan (kepala desa) Bentek dan Ketua Perekat Ombara, masyarakat baru menyadari hutannya rusak oleh aktivitas HPH PT Ongkowidjojo setelah mereka melakukan pemetaan partisipatif pohon keta (sejenis bahan baku lokal untuk pembuatan kerajinan masyakat) di hutan sekitar desa Bentek (Program YLKMP - Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesaan - yang didukung oleh GEF/SGP). Hutan yang selama ini diakui sebagai bagian dari kesatuan wilayah adat desa diserahkan sebagai areal konsesi. Sejak mulai beroperasi pada tahun 1982, ternyata bencana ekologis terjadi di wilayah ini. Karena lokasi HPH terletak di kawasan pegunungan maka areal di wilayahnya mengalami kesulitan air pada musim kemarau dan kebanjiran pada musim hujan. Di kawasan hutan Sekotong petilasan Kedaru yang dikeramatkan (berbentuk tinggalan menhir) dan makam Bebekeq, di kawasan hutan Sesaot, yang amat dikeramatkan masuk ke dalam areal konsesi. Akumulasi ketidakpuasan masyarakat pecah pada saat terjadi peristiwa pembakaran camp HPH pada bulan April 1999.
Keprihatinan ini menyebabkan beberapa tokoh kepala desa yang memiliki kasus serupa untuk bertemu untuk membicarakan masalah degradasi ekosistem hutan yang langsung berbatasan dengan desa masing-masing. Pertemuan-pertemuan selanjutnya, yang disebut dengan Pertemuan Masyarakat Adat Lombok Utara semakin banyak melibatkan para tokoh desa adat, tidak secara khusus berbicara tentang masalah degradasi lingkungan tetapi pengembangan wacana revitalisasi adat budaya sebagai upaya penggalangan solidaritas masyarakat dan mencari solusi untuk menangani masalah-masalah kemasyarakatan yang ada di Lombok utara. Dengan adanya peluang dan semangat otonomi daerah (UU Otonomi Daerah 22/1999) bergulir dan semakin marak penghimpunan diri 25 komunitas desa dalam wadah Persekutuan yang bersendikan institusi dan pranata lokal yang disepakati dalam sebuah kesepakata bersama antar komunitas desa atau yang dikenal dengan Dekrit 5 Juli 2000.
Salah satu isi Dekrit yang dihasilkan adalah berhubungan dengan pengelolaan wilayah hutan, yaitu pengawasan hutan tidak perlu dengan kehadiran jagawana tetap diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat dibawah pemangku alas dan dikawal oleh lang-lang (pam swakarsa). Dinamika dan geliat dari Perekat Ombara ini melahirkan gagasan dan wacana baru tentang pembentukan kabupaten Lombok Utara. Selama ini wilayah Lombok bagian utara merupakan bagian dari kabupaten Lombok Barat, dengan ibukota di Mataram. Dengan adanya perubahan situasi dan kondisi politik, dimungkinkan pemekaran
kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten induknya. Wacana ini sekarang sedang marak berkembang di Perekat Ombara dan berbagai organisasi kemasyarakatan lain yang ada di Lombok Utara. (Rizky R. Sigit. 2001. Telapak. Studi kasus dalam rangka Pengkajian Program Hibah Kecil Global Environmental Facility - GEF/SGP).
Di Kalimantan Barat, misalnya, PPSHK (SHK Kalbar) dan EAF (Ethno-Agro Forest) menemukan masih banyak kampung orang Dayak yang masih memiliki dan mempertahankan keaslian hutan keramat. Keteguhan keyakinan masyarakat adat atas kekeramatan hutan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mengendalikan dan bahkan menghentikan kerusakan hutan sebagaimana dilakukan oleh komunitas adat di Kampung Pendaun, Kabupaten Ketapang. Masyarakat adat di kampung ini tidak hanya gigih mempertahankan hutan keramat dari kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan resmi, tetapi juga dari para penebang liar.
C. Menghentikan Penebangan Liar dengan Menegakkan Hukum Adat Kehutanan
Dari zaman dulu sampai 20 tahun yang lalu, keadaan hutan di Kecamatan Simpakng Hulu masih utuh, keadaan sosial-budaya masih kuat, air sungai belum tercemar, masyarakat masih arif dalam megelola sumber daya hutan dan kebutuhan hidup sehari-hari kala itu masih mudah diperoleh. Tahun tujuh puluhan HPH mulai beroperasi di Kecamatan Simpakng Hulu, yang membuka jalan, yang mengakibatkan banyaknya orang luar masuk. Akibatnya hutan menjadi rusak, sungai mulai tercemar, hak-hak masyarakat adat dirampas, adat-budaya
masyarakat lokal luntur. Tahun delapan puluhan mulai masuk banyak rombongan penebang kayu ilegal dari luar.
Pada tahun 1997 PT Wahana Stagen Lestari (WSL), sebagai kontraktor PT Inhutani II, melanggar kawasan Tonah Colap Turun Pusaka (atau hutan lindung ala masyarakat adat yang luasnya 782 ha). Dari pelanggaran tersebut maka WSL di hukum secara adat oleh masyarakat Pendaun. Setelah di hukum adat WSL berhenti operasi di Tonah Colap. Ternyata dengan terhentinya operasi WSL penebangan hutan masih berlanjut. Dengan terbukanya jalan ke Tonah Colap Torun Pusaka, semakin banyak penebangan liar (illegal). Sekitar dua puluhan truk pengangkut kayu haram per hari beroperasi di Kampung Pendaun.
Sadar ada kerusakan hutan, masyarakat adat mengadakan pertemuan-pertemuan serta lokakarya yang intinya untuk pengukuhan kembali terhadap Tonah Colap Torun Pusaka yang meliputi kegiatan seperti: (1) inventarisasi partisipatif, dan (2) perintisan kawasan Tonah Colap Torun Pusaka. Ini dua langkah langkah untuk mencapai cita-cita masyarakat selanjutnya untuk menghentikan seluruh kegiatan yang merusak hutan.
Hasil dari seluruh kesempakatan pertemuan akhirnya di lakukanlah sumpah Tonah Colap Torun Pusaka, sekaligus mendirikan balai pabantatn (atau keramat) di Bukit Binakng. Setelah perintisan dan pendirian keramat, penebangan liar (ilegal) berhenti. Rombongan pekerja kayu liar (illegal) yang bekerja di sekitar kawasan Tonah Colap pun di hukum adat. Penghukuman terhadap perusahaan dan pembuatan Tanah Colap Torun Pusaka oleh masyarakat adat
Pendaun maka mengundang reaksi positif masyarakat adat di daerah sekitarnya untuk melakukan hal yang sama. Satu tahun terakhir ini banyak kampung-kampung masyarakat adat di kawasan Simpakng Hulu di Kabupaten Ketapang mendirikan dan mengukuhkan kembali hutan keramat Tanah Colap Torun Pusaka sebagai basis spritual untuk penegakan hukum adat bagi para penebang liar, baik dari masyarakat adat sendiri maupun dari pihak-pihak luar. (Jakobus Akon, seorang warga masyarakat adat Kampung Pendaun, dipresentasikan pada Ministrial Conference on Forest Law Enforcement and Governance, FLEG, di Denpasar, Bali, 11-13 September 2001).
D. Pranata Adat sebagai Kekuatan Utama Penjaga Hutan
Banyak di antara komunitas-komunitas masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk hidup lainnya. Dibandingkan dengan pihak-pihak berkepentingan lain, masyarakat adat mempunyai motif yang paling kuat untuk melindungi hutan adatnya. Bagi masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, menjaga hutan dari kerusakan merupakan bagian paling penting mempertahankan keberlanjutan kelangsungan kehidupan mereka sebagai komunitas adat. Motivasi ini didasari pada dua hal. Pertama adalah keyakinan atas hak-hak asal usul yang diwarisi dari leluhur. Masyarakat adat berbeda dari kelompok masyarakat yang lain, bukan semata-mata karena mereka rentan terhadap intervensi/hegemoni luar, tetapi karena mereka memiliki hak asal usul atau hak tradisional.
Mempertahankan hutan adat bukan sekedar tindakan konservasi tetapi merupakan tindakan mempertahankan hak adat/hak asal usul/hak tradisional mereka. Kedua, di samping untuk memtahankan hak, masyarakat adat juga menyadari posisinya sebagai penerima insentif yang paling besar jika hutan adatnya utuh dan terpelihara dengan baik. Sebagai penduduk yang sebagian besar kehidupannya tergantung dengan hutan adat, hutan adat yang lestari akan menjamin ketersediaan pangan, ramuan obat-obatan, air bersih, bahan bangunan dan kebutuhan primer lain bagi masyarakat adat. Bagi masyarakat adat yang kehidupannya sudah terintegrasi dengan ekonomi uang, hutan adat merupakan sumber berbagai jenis hasil hutan, baik berupa kayu maupun non kayu, yang bernilai jual tinggi untuk mendapatkan uang membiayai kebutuhan-kebutuhannya seperti menyekolahkan anak-anaknya, membayar pajak, membeli alat transportasi yang lebih cepat, membeli televisi, dan kebutuhan lain yang tidak bisa diproduksi sendiri. Di banyak komunitas masyarakat adat, hutan adat juga sangat penting dalam kehidupan budaya dan religi asli. Sebaliknya jika terjadi pengrusakan terhadap hutan adat, baik oleh mereka sendiri maupun oleh pihak-pihak luar, maka masyarakat adat akan menjadi korban yang paling menderita.
Berbagai penelitian juga telah membuktikan bahwa masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan asli yang arif dalam pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan atas sumberdaya hutan di wilayah adatnya. Sistem pengetahuan asli ini merupakan landasan bagi keberadaan cara-cara pengelolaan sumberdaya hutan dan hukum adat kehutanan yang khas dan berbeda satu sama lain di antara komunitas-komunitas adat.
Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan jika terjadi perbuatan-perbuatan yang bisa menyebabkan kerusakahan terhadap hutan adat. Sebagian dari hukum adat ini sudah melemah dan mengalami kekaburan sehingga perlu direvitalisasi dan diperkuat.
Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat untuk mengatur, menata, memperkuat dan menjaga berlangsungnya keharmonisan interaksi antara masyarakat adat dengan ekosistem hutan di sekitarnya.
Dengan berbagai pranata adat yang masih dimiliki masyarakat adat ini, mereka memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (community-based reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli komersial. Dengan pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat mampu mengelola usaha ekonomi komersial berbasis sumberdaya hutan yang ada di wilayah adatnya (community logging/portable sawmill, community forestry, credit union, dsb.) untuk mengatur dan mengendalikan "illegal logging" yang dimodali oleh cukong-cukong kayu, mengurangi "clear cutting" legal dengan IPK untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan resmi yang merusak hutan dan menindas masyarakat adat seperti IHPHH.

KESIMPULAN
 Dengan berbagai pranata adat yang masih dimiliki masyarakat adat, ini merupakan suatu kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan pemulihan kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH.
 Proses mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara hukum (mandatory) bagi hak-hak masyarakat adat atas hutan adat secara nasional membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu diperlukan skema yang sifatnya sukarela (voluntary) agar prakarsa-prakarsa masyarakat adat dalam perlindungan hutannya dan pemberantasan penebangan liar di wilayah adatnya mendapatkan insentif dari berbagai pihak pendukung, termasuk dari pemerintah.
 Hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sehingga pengelolaannya dapat terjaga dan terkendali kelestarian hutan dan kesejahteraan serta keberlangsungan hidup dapat dirasakan oleh masyarakat tersebut.
TUGAS

Ekonomi Perusahaan Hutan
(PDRB & PDRB Hijau)

LA ODE KAIMAN HAQ
D1 B5 06 041

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012

PENGERTIAN PDRB

(Produk Domestik Regional Bruto)
Untuk menghindarkan penafsiran maka pemahaman atas konsep dan definisi yang digunakan sangat diperlukan.
2.1.1. Produk Domestik dan Produk Regional
Semua barang dan jasa sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik, tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh penduduk daerah tersebut, merupakan “Produk Domestik” daerah bersangkutan. Pendapatan yang timbul oleh karena adanya kegiatan produksi tersebut merupakan “Pendapatan Domestik”.
Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian dari faktor produksi yang digunakan dalam kegiatan produksi di suatu daerah berasal dari daerah lain atau dari luar negeri, demikian juga sebaliknya faktor produksi yang dimiliki penduduk daerah tersebut dapat ikut serta dalam proses produksi di daerah lain atau di luar negeri. Hal ini menyebabkan nilai produk domestik yang timbul di suatu daerah tidak sama dengan pendapatan yang diterima penduduk daerah tersebut.
Dengan adanya arus pendapatan yang mengalir antar daerah (termasuk juga dari dan ke luar negeri) yang pada umumnya berupa upah/gaji, bunga, deviden dan keuntungan maka timbul perbedaan antara Produk Domestik dan Produk Regional.
Produk Regional adalah Produk Domestik ditambah dengan pendapatan yang diterima dari luar daerah/negeri dikurangi dengan pendapatan yang dibayarkan keluar daerah/negeri tersebut. Akan tetapi untuk mendapatkan angka-angka tentang pendapatan yang mengalir keluar dan masuk ke suatu daerah (yang secara nasional dapat diperoleh dari neraca pembayaran luar negeri) masih sangat sulit saat ini, hingga Produk Regional ini belum dapat dihitung. Untuk sementara dalam perhitungan ini Produk Regional dianggap sama dengan “Produk Domestik Regional Netto (PDRN) Atas Dasar Biaya Faktor”.
Bila Pendapatan Regional ini dibagi dengan jumlah penduduk yang tinggal di region tersebut, maka dihasilkan Pendapatan Per Kapita.
2.1.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Pasar
Angka Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Pasar dapat diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto (Gross Value Added) yang timbul dari seluruh sektor ekonomi di wilayah itu. Yang dimaksud dengan nilai tambah bruto adalah nilai lebih yang timbul setelah melalui suatu proses produksi atau nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara. Nilai tambah bruto disini mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tak langsung netto. Dengan menghitung nilai tambah bruto dari masing-masing sektor dan menjumlahkan nilai tambah bruto dari seluruh sektor, akan diperoleh Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Pasar.
2.1.3. Produk Domestik Regional Neto (PDRN) Atas Dasar Harga Pasar
Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Pasar dikurangi penyusutan akan diperoleh Produk Domestik Regional Netto Atas Dasar Harga Pasar. Penyusutan yang dimaksud adalah nilai susut (ausnya) dari barang-barang modal yang terjadi selama barang tersebut ikut serta dalam proses produksi.
2.1.4. Produk Domestik Regional Neto (PDRN) Atas Dasar Biaya Faktor
Perbedaan antara konsep biaya faktor dengan harga pasar adalah karena adanya pajak tidak langsung yang dipungut oleh pemerintah dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada unit-unit produksi. Pajak tidak langsung yang dibayar oleh perusahaan terdiri dari iuran wajib ke pemerintah yang diberlakukan sebagai biaya untuk kegiatan produksi. Pajak tidak langsung ini termasuk segala jenis pajak yang dikenakan atas kegiatan produksi, penjualan, pembelian atau penggunaan barang dan jasa oleh perusahaan. Suatu perusahaan/usaha dapat membayar pajak tidak langsung kepada Pemerintah Daerah maupun ke Pemerintah Pusat.
Pajak Tidak Langsung ini meliputi pajak penjualan, bea ekspor, cukai dan lain-lain pajak, kecuali pajak pendapatan dan pajak perseorangan. Pajak tidak langsung dan subsidi mempunyai pengaruh terhadap harga barang-barang. Pajak berpengaruh menaikkan harga sedangkan subsidi menurunkan harga. Pajak tidak langsung neto diperoleh dari pajak tidak langsung dikurangi subsidi. Produk
Domestik Regional Netto Atas Dasar Harga Pasar dikurangi pajak tidak langsung neto, hasilnya adalah Produk Domestik Regional Neto Atas Dasar Biaya Faktor.
2.1.5. Ringkasan Agregat PDRB
Dari uraian di atas, maka konsep-konsep yang dipakai dalam Produk Domestik Regional Bruto adalah sebagai berikut :
 Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Pasar (GRDP at Market Prices), dikurangi penyusutan akan sama dengan ;
 Produk Domestik Regional Neto Atas Dasar Harga Pasar (NRDP at Market Price) dikurangi pajak tidak langsung neto akan sama dengan ;
 Produk Domestik Regional Neto Atas Dasar Biaya Faktor (NRDP at Factor Cost) ditambahkan pendapatan neto yang mengalir dari / ke daerah lain akan sama dengan ;
 Pendapatan Regional (Regional Income) dikurangi pajak pendapatan perusahaan (Cooperate Income Tax), keuntungan yang tidak dibagikan (Undistributed Profit), iuran kesejahteraan sosial (Social Security Contribution) ditambah transfer yang diterima oleh rumah tangga, bunga neto atas bunga pemerintah akan sama dengan ;
 Pendapatan Orang – Seorang (Personal Income) dikurangi pajak rumah tangga, transfer yang dibayarkan rumah tangga, akan sama dengan ;
 Pendapatan Yang Siap Dibelanjakan (Disposible Income).
PDRB Hijau Kabupaten Karangasem
Sejalan dengan Peraturan Presiden RI No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 yang menetapkan penyusunan PDB Hijau sebagai kegiatan dalam Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi SDA dan LH, maka kegiatan sosialisasi dan penyempurnaan penghitungan PDRB Hijau perlu dilaksanakan. Menyikapi keputusan tersebut Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VIII atau BPKH Wilayah VIII menyambut positif dengan melakukan ujicoba penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan terhadap PDRB.
Berbagai pihak telah menyadari bahwa hutan memiliki peranan yang sangat penting bagi keberhasilan pembangunan baik secara nasional maupun pembangunan di daerah. Oleh sebab itu keberadaan hutan memerlukan adanya penilaian yang lebih lengkap serta menyeluruh terhadap semua produk dan jasa atau manfaat yang dihasilkannya. Berbagai upaya telah dirintis oleh banyak pihak untuk memulai memperhitungkan dimensi lingkungan dalam aktifitas kegiatan pembangunan sebagai dasar bagi keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mengintegrasikan nilai-nilai depresiasi yang mencakup nilai deplesi dan degradasi lingkungan sektor kehutanan pada nilai kontribusi sektor kehutanan secara menyeluruh termasuk industri kayu dan hasil hutan lainnya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Metodologi Penyusunan Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan
Secara konvensional PDRB merupakan ukuran keberhasilan kinerja pembangunan suatu daerah baik itu kabupaten, kota maupun provinsi. Pada dasarnya PDRB merupakan seluruh jumlah barang dan jasa akhir (final product) yang dihasilkan oleh suatu kegiatan perekonomian atau pembangunan regional (daerah) baik kabupaten, kota maupun provinsi, dalam waktu satu tahun yang dinyatakan dalam nilai rupiah.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau merupakan pengembangan dari PDRB Coklat atau kovensional. PDRB Coklat sendiri merupakan catatan tentang jumlah nilai rupiah dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu daerah (provinsi/Kabupaten/Kota) dalam waktu satu tahun. Nilai PDRB suatu daerah sebenarnya adalah nilai tambah yang diciptakan oleh semua sektor usaha didaerah tersebut.
Untuk membuat agar nilai-nilai yang ada didalam PDRB mencerminkan nilai kesejahteraan yang sebenarnya dari hasil kegiatan perekonomian atau pembangunan suatu daerah, maka perlu dilakukan penghitungan PDRB yang disesuaikan (adjusted gross regional domestic bruto/ GRDP) yang disebut juga sebagai PDRB Hijau yaitu dengan memasukan kedalam penghitungan PDRB (Coklat) nilai deplesi sumberdaya alam dan kerusakan (degradasi) lingkungan yang ditimbulkan sebagai produk yang tidak diinginkan (undisirable outputs). Dengan demikian nilai PDRB yang telah disesuaikan tersebut dapat dijadikan
acuan dasar yang lebih komprehensif bagi perencanaan pembangunan yang berkelanjutan dan lingkungan disamping faktor-faktor lainnya.
Cara menghitung PDRB
Tiga pendekatan utama dalam menghitung PDRB, yaitu :
1. Menjumlahkan seluruh nilai tambah dari setiap sektor kegiatan ekonomi,
2. Menjumlahkan semua jenis pendapatan yang diperoleh oleh para pemilik faktor produksi seperti tenaga kerja,modal, alat, perlengkapan dan sumberdaya alam serta keahlian.
3. Menjumlahkan seluruh pengeluaran setiap kegiatan di masing-masing sektor.
Penghitungan PDRB Semi Hijau
PDRB Semi Hijau adalah hasil pengembangan PDRB Coklat dengan memasukan dimensi lingkungan (deplesi SDA dan kerusakan lingkungan) ke dalam perhitungan PDRB Konvensional. PDRB Konvensional yang disebut juga dengan PDRB Coklat dikurangi dengan nilai deplesi dari sektor kehutanan sehingga hasil yang didapatkan adalah PDRB Semi Hijau
Penghitungan PDRB Hijau
Untuk sampai pada nilai PDRB Hijau, terhadap nilai-nilai pada PDRB Semi Hijau masih harus dikurangi lagi nilai kerusakan atau degradasi lingkungan, sehingga akhirnya diperoleh nilai PDRB Hijau yang sebenarnya.
Penyusunan Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan
Sebagai langkah awal dalam penyusunan kontribusi hijau sektor kehutanan, ditentukan ruang lingkup studi khususnya berkaitannya dengan wilayah studi, yakni Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Kabupaten ini dipilih karena dalam studi ini menitik beratkan kajian pada kontribusi hijau sektor kehutanan di wilayah tersebut dimana Kabupaten Karangsem masih memiliki kawasan hutan yang cukup luas. Oleh karenanya dalam meninjau laporan PDRB Kabupaten Karangasem, sektor yang menjadi perhatian dalam studi ini adalah sub sektor kehutanan, sektor pertanian dan industri pengolahan hasil hutan pada sub sektor industri pengolahan non migas, sektor industri pengolahan. Dengan semikian, secara singkat tahapan studi ini meliputi :
a. Mengkaji sektor yang berkaitan dengan sektor kehutanan (sub sektor kehutanan dan industri pengolahan hasil hutan) yang memberikan kontribusi pada PDRB Kabupaten Karangasem.
b. Mengidentifikasi semua jenis dan volume sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu yang digunakan dan diambil baik secara langsung maupun tidak langsung dan memiliki nilai ekonomi di wilayah tersebut. Untuk ini informasi dapat diperoleh dari Dinas Perindustrian dan juga Kantor badan Statistik Daerah, serta wawancara langsung dengan beberapa perusahaan dan industri sampel.
c. Melakukan valuasi ekonomi terhadap sumberdaya hutan yang digunakan atau yang diekstrak dari hutan. Valuasi dilakukan dengan pendekatan nilai pasar
untuk produk-produk yang memiliki nilai pasar dan dipasarkan atau menggunakan nilai barang pengganti dan barang pelengkapnya, atau dengan contingent valuation yaitu kesediaan membayar atau kesediaan menerima pembayaran untuk produk yang tidak memiliki nilai pasar atau untuk menaksir nilai kerusakan lingkungan. Data harga diperoleh dari data sekunder ataupun data primer dari perusahaan yang terlibat dalam proses produksi dan penggunaan sumberdaya alam.
d. Menghitung volume kerusakan akibat deplesi sumberdaya hutan dan menghitung pula dampak negatif yang ditimbulkan akibat adanya proses produksi industri hasil hutan. Khusus dalam menghitung dampak negatif yang timbul akibat pengolahan industri hasil hutan ini digunakan berbagai metode yang paling mendekatai angka degradasi, misalnya dengan metode prevention cost yaitu dengan menginternalkan biaya biaya pengolahan limbah pada hasil akhir industri pengolahan. Selain itu, metode lain yang digunakan adalah metode observasi langsung dan metode perkiraan dengan menggunakan benefit transfer. Kemudian valuasi ekonominya dapat menggunakan metode biaya pengganti (replacement costs) dan metode pendapatan yang hilang (forgone income).
e. Setelah nilai deplesi, degradasi lingkungan dan degradasi industri pengolahan hasil hutan dapat dihitung, selanjutnya nilai-nilai tersebut dikurangkan dari kontribusi sektor kehutanan sehingga akan diperoleh nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB.
f. Kontribusi riil sektor kehutanan pada pembangunan diperoleh dengan jalan menjumlahkan kontribusi sektor kehutanan dengan depresiasi lingkungan kemudian dikurangi dengan degradasi industri pengolahan hasil hutan.
Kesimpulan
1. Secara umum, sumberdaya hutan selain memberikan nilai tambah melalui produksi kayu dan hasil hutan lainnya, juga menjadi sumber pendapatan negara maupun sumber devisa. Hutan juga (termasuk hutan di Kabupaten Karangasem) memberikan kontribusi dalam bentuk jasa lingkungan antara lain sebagai pengaman lingkungan dari berbagai bencana banjir dan kekeringan, memelihara fungsi tata air, penyerapan karbon sehingga mengurangi pemanasan global dan memperbaiki kualitas udara serta sebagai habitat flora dan fauna.
2. Kontribusi sektor kehutanan di Kabupaten pada pembangunan regional dinilai sebagai jumlah pemanfaatan hutan secara langsung oleh masyarakat sekitar hutan dalam pemanfaatannya untuk kebutuhan sehari-hari misalnya kayu bakar. Nilai tambah yang dihasilkan berasal dari penghasilan dari faktor produksi seperti upah/gaji, sewa, bunga modal dan laba yang diciptakan oleh kegiatan ekonomi sedangkan fungsi jasa lingkungan hutan yang meliputi fungsi lindung maupun fungsi konservasi belum diberi nilai dalam penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten.
3. Kontribusi sektor kehutanan yang memasukan dimensi lingkungan (deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan) disebut sebagai kontribusi hijau sektor kehutanan, terhadap pembangunan nilai deplesi sumberdaya alam ditambah dengan nilai degradasi lingkungan disebut sebagai penyusutan (depresiasi) sumberdaya alam dan lingkungan.
4. Nilai deplesi sumberdaya hutan adalah sama dengan nilai pengambilan sumberdaya hutan atas dasar penggunaan, sedangkan nilai degradasi lingkungan adalah sama dengan menurunnya nilai jasa lingkungan atas dasar penggunaan tidak langsung seperti fungsi konservasi air dan tanah, fungsi penyerap karbon, fungsi pencegah banjir, dan fungsi keanekaragaman hayati, termasuk degradasi lingkungan yang dinilai atas dasar tanpa melalui penggunaan seperti nilai opsi (option value) dan nilai keberadaan (existence value) akibat pengambilan sumberdaya hutan.
5. Kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB dapat dilihat dari pemanfaatan hutan secara tidak langsung oleh masyarakat sekitarnya yang menciptakan kegiatan ekonomi setelah dikurangi dengan kebakaran dan pencurian atau tebangan.
6. Nilai deplesi sumberdaya hutan diperoleh dengan pendekatan kebakaran hutan dan pencurian kayu yaitu mengalikan unit rent dengan volume kayu yang dideplesi. Total deplesi hutan dari tahun 2004 hingga tahun 2006 berturut-turut adalah Rp. 26,650 juta, Rp. 15,80 Juta dan Rp. 108,00 juta. Kebakaran hutan pernah terjadi di Kecamatan Rendang, Abang, Kubu, dan Daya pada tahun 2004, di Kecamatan Abang dan Daya tahun 2005 dan di
Kecamatan Rendang, Manggis, Abang, Kubu dan Daya tahun 2006. Pencurian kayu pernah terjadi di Kecamatan Rendang tahun 2004, di kecamatan Rendang dan Daya tahun 2005, dan di Kecamatan Rendang pada tahun 2006. Jika dibandingkan kebarakan hutan dengan pencurian kayu, luas kebakaran hutan jauh lebih besar dari luas pencurian kayu.
7. Nilai degradasi lingkungan karena kerusakan hutan akibat tebangan atau pencurian dan kebakaran di Kabupaten Karangasem berupa konservasi tanah dan air, penyerapan karbon, pencegah banjir, transportasi air dan keanekaragaman hayati mulai tahun 2004 hingga tahun 2006 berturut-turut adalah Rp. 13,03 juta, Rp. 7,97 juta dan Rp. 49,15 juta.
8. Nilai kontribusi sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten Karangasem dapat diketahui dengan mengurangkan nilai depresiasi sektor kehutanan dari nilai kontribusi konvensional pada PDRB Kabupaten Karangasem. Mulai tahun 2004 hingga tahun 2006 berturut-turut nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten Karangasem adalah Rp. 54,67 juta, Rp. 75,76 juta, dan – Rp. 46,93 juta.
9. Nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten Karangasemyang negatif artinya nilai manfaat yang diciptakan oleh sektor kehutanan sebagaimana dilaporkan dalam PDRB (coklat) Kabupaten Karangasem lebih kecil daripada nilai modal alami yang dikorbankan karena terdeplesi dan terdegradasi.
10. dari berbagai penemuan diatas dapat dinyatakan manfaat dari penyusunan PDRB Hijau pada umumnya dan kontribusi hijau sektor kehutanan pada khususnya terhadap PDRB, yaitu:
 Menghindari bias perhitungan kinerja pembangunan ekonomi suatu daerah
 Rencana dan kebijakan pembangunan kehutana daerah dapat disusun berdasarkan kondisi faktual yang ada serta lebih sempurna dan terarah,
 Mengetahui besarnya nilai deplesi dan kerusakan lingkungan hutan sebagai dasar untuk mengontrol kerusakan sumberdaya hutan,
 dMemberikan penilaian wajar pada keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan,
 Sebagai masukan dalam penentuan besar kecilnya pungutan atau ganti rugi kerusakan lingkungan,
 Sebagai masukan dalam rangka menghitung kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan suatu daerah,
 Untuk memahami struktur perekonomian yang lebih realistik,
 Mengetahui sumbangan sektoral yang faktual terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, akan menambah motivasi penyelenggara pemerintahan untuk mengelola sumberdaya hutan yang ada.

Senin, 27 April 2015

EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN (DEFINISI PERUSAHAAN)

TUGAS

Ekonomi Perusahaan Hutan
(Pengertian Perusahaan)

NARNI
D1 B5 09 055

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012

1. Definisi Perusahaan ialah merupakan suatu tempat untuk melakukan kegiatan proses produksi barang atau jasa. Sedangkan ekonomi perusahaan adalah suatu cara pandang dalam mengelola suatu organisasi atau lembaga dimana output yang dihasilkan akan memberikan profit atau laba yang cukup menjanjikan.

2. Cv/Perseroan Komanditer adalah badan usaha yang mempunyai satu atau lebih sekutu komplementer dan sekutu komanditer. Sekutu komplementer berhak bertindak untuk dan atas nama bersama semua sekutu serta bertanggung jawab terhadap pihak ketiga secara tanggung renteng. Namun sekutu ini bertanggung jawab sampai harta kekayaan pribadi. Hal ini terjadi jika harta CV tidak cukup untuk membayar hutang saat CV bubar. Jika CV bubar maka sekutu komplementer yang berwenang melakukan likuidasi, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian atau rapat sekutu komplementer. Jika setelah dilikuidasi masih terdapat sisa harta CV, maka dibagikan kepada semua sekutu sesuai dengan pemasukan masing-masing.
Firma adalah suatu bentuk persekutuan bisnis yang terdiri dari dua orang atau lebih dengan nama bersama yang tanggung jawabnya terbagi rata tidak terbatas pada setiap pemiliknya.
ciri dan sifat firma :
- Apabila terdapat hutang tak terbayar, maka setiap pemilik wajib melunasi dengan harta pribadi. - Setiap anggota firma memiliki hak untuk menjadi pemimpin - Seorang anggota tidak berhak memasukkan anggota baru tanpa seizin anggota yang lainnya. - keanggotaan firma melekat dan berlaku seumur hidup - seorang anggota mempunyai hak untuk membubarkan firma
- pendiriannya tidak memelukan akte pendirian - mudah memperoleh kredit usaha
Perseroan Terbatas / PT / Korporasi / Korporat
Perseroan terbatas adalah organisasi bisnis yang memiliki badan hukum resmi yang dimiliki oleh minimal dua orang dengan tanggung jawab yang hanya berlaku pada perusahaan tanpa melibatkan harta pribadi atau perseorangan yang ada di dalamnya. Di dalam PT pemilik modal tidak harus memimpin perusahaan, karena dapat menunjuk orang lain di luar pemilik modal untuk menjadi pimpinan. Untuk mendirikan PT / persoroan terbatas dibutuhkan sejumlah modal minimal dalam jumlah tertentu dan berbagai persyaratan lainnya.
Koperasi adalah merupakan suatu organisasi atau lembaga ekonomi yang berwatak sosial ini menurut saya memang untuk dana yang di dapat itu sangat mudah karena sumbernya berasal dari anggota sehingga untuk mecari sebanyak mungkin keuntungan itu bukan prioritas hanya saja besarnya simpanan seseorang dalam koperasi ini tidak mempengarui posisinya dalam lembaga ini dan apabila ada perombakan masalah pengurus lembaga ini keputusan tertinggi ada pada rapat anggota. Inilah yang membedakan nya dengan bentuk perusahaan lainnya.

Sabtu, 25 April 2015

LAPORAN SILVIKA
(OKULASI)

OLEH :
NARNI
DIB5 09 055

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbanyakan tanaman banyak dilakukan dengan berbagai cara, yaitu baik dengan cara yang sederhana sampai yang rumit. Tingkat keberhasilannya pun bervariasi dari tinggi sampai rendah, keberhasilan perbanyakan tanaman tergantung pada beberapa faktor antara lain: cara perbanyakan yang digunakan, jenis tanaman, waktu memperbanyak, keterampilan pekerja dan sebagainya. Secara garis besar, perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu perbanyakan secara generatif dan vegetatif.
Perbanyakan tanaman secara generatif yaitu perbanyakan dilakukan dengan menggunakan biji yang berasal dari proses perkawinan atau penyerbukan antara benang sari (jantang) dan putik (betina) pada malai bunga. Perbanyakan dengan menggunakan biji menjadi dasar awal perbanyakan tanaman dan pohon dalam kehutanan. Biji-biji ini biasanya sengaja disemaikan untuk dijadikan tanaman baru, tapi bisa juga tanpa disengaja biji-biji yang dibuang begitu saja dan oleh alam ditumbuhkan untuk menjadi tanaman baru. Tentu saja tanaman baru hasil buangan ini bisa dijadikan bibit, apabila diketahui segala sifat-sifat kelebihannya.
Sedangkan perbanyakan tanaman secara vegetatif adalah perbanyakan tanaman yang dilakukan tanpa melalui proses perkawinan. Atau perbanyakan vegetatif adalah cara membiakan tanamanyang bersangkutan (berasal dari bagian daun, batang, dan akar). Berdasarkan asal sifat gabungannya, perbanyakan vegetatif
dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu pembiakan alovegetatif dan pembiakan autovegetatif. Pembiakan alovegetatif yaitu pembiakan vegetatif yang berasal dari dua genotip yang berbeda, misalnya okulasi dan sambungan. Sedangkan pembiakan autovegetatif yaitu perbanyakan vegetatif yang berasal dari genotip yang sama, misalnya mencangkok, stek, dan kultur jaringan.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum ini yaitu:
1. Agar mahasiswa mengetahui teknik perbanyakan secara vegetatif.
2. Agar mahasiswa mengetahui teknik / cara okulasi (bud grafting) jati (Tectona grandis L.F)
Kegunaan dari praktikum ini yaitu :
1. Mahasiswa dapat mengetahui teknik perbanyakan secara vegetatif.
2. Mahasiswa dapat mengetahui teknik / cara okulasi (bud grafting) jati (Tectona grandis L.F).

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perbanyakan Tanaman
Perbanyakan tanaman dapat digolongkan menjadi dua yaitu, perbanyakan tanaman secara generatif dan perbanyakan tanamna secara vegetatif. Perbanyakan tanaman secara generatif adalah perbanyakan dilakukan dengan menggunakan biji yang berasal dari proses perkawinan antara serbuk sari dan putik pada malai bunga. Sedangkan perbanyakan tanaman secara vegetatif yaitu perbanyakan tanamna yang dilakukan tanpa melalui proses perkawinan. Perbanyakan tanaman secara vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek, okulasi, cangkok, penyambungan, merunduk dan kultur jaringan (Hendaryono dan Ari, 1994).
Pada umumnya benang sari dipandang sebagai alat kelamin jantan dari tumbuh-tumbuhan, karena menghasilkan serbuk sari yang mengandung inti sperma untuk keperluan penyerbukan, putik dipandang sebagai alat kelamin betina (Dirjanto dan Sarifan, 1984).
B. Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif
Dasar aseksual dengan cara propogasi maka melalui cutting, grafting, budding, dan layuring. Sedangkan cara propogasi mikro yang dilaksanakan untuk memenuhi daur aseksual yaitu dengan cara embrio cultur. Dalam pemanfaatan teknologi baru daur aseksual merupakan salah satu perkembangan usaha manusia untuk membudidayakan tanaman dengan waktu yang relatif singkat (Abidin, 1991).
Pembiakan vegetatif terbagi dua cara yaitu pembiakan vegetatif dengan menggunakan teknologi tinggi seperti kultur jaringan. Pembiakan vegetatif jenis ini membutuhkan biaya tinggi dan sumber daya manusia yang terdidik. Sedangkan untuk jangka pendek dimana kemampuan biaya terbatas maka solusinya adalah dengan pembiakan vegetatif makro. Pembiakan vegetatif makro seperti stek, sambungan dan cangkok. Dimana mudah dipelajari dan tidak begitu membutuhkan teknologi yang canggih. Cara ini dapat diterapkan dimana saja asalkan disiplin dalam pemeliharaannya dan memenuhi kaidah pengembangbiakan vegetatif makro secara umum (Pudjiono, 2007).
Stek merupakan cara perbanyakan tanaman secara vegetatif buatan dengan menggunakan sebagian batang, akar, atau daun tanaman untuk ditumbuhkan menjadi tanaman baru. Sebagai alternarif perbanyakan vegetatif buatan, stek lebih ekonomis, lebih mudah, tidak memerlukan keterampilan khusus dan cepat dibandingkan dengan cara perbanyakan vegetatif buatan lainnya (Widiarsih, 2008).
Penyambungan (grafting) adalah seni menyambungkan 2 jaringan tanaman hidup sedemikian rupa sehingga keduanya bergabung dan tumbuh serta berkembang sebagai satu tanaman gabungan. Teknik apapun yang memenuhi kriteria ini dapat digolongkan sebagai metode grafting. Sedangkan budding adalah salah satu bentuk dari grafting, dengan ukuran batang atas tereduksi menjadi hanya terdiri atas satu mata tunas (Hartmann et al, 1997).
C. Perbanyakan Tanaman Dengan Okulasi
Okulasi berasal dari bahasa Belanda (oculatie) yang artinya menempel. Sebelum melakukan okulasi, siapkan perlengkapan berupa pisau sayat, silet, atau pisau cutter, dan pita plastik atau tali rafia untuk mengikat bidang okulasi. Siapkan juga calon batang bawah dan batang atasnya. Calon batang bawah harus dipilih yang kondisinya sehat, pertumbuhannya baik, cukup umur, batang utamanya telah berwarna kecoklatan serta mulai berkayu. Sementara itu, entres berupa mata tunas untuk calon batang atas diambil dari induk yang sehat; kualitas buahnya baik, serta dipilih dari cabang atau ranting yang masih muda, tidak terserang hama atau penyakit, dan berwarna hijau kelabu atau kecoklatan (Ardiant, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan okulasi adalah sebagai berikut:
1. Scion yang dijadikan bahan sambungan tersebut tidak cacat dan masih dalam keadan segar, tidak terlalu tua, tidak terlalu muda, dan berbatang bulat.
2. Penyambungan (grafting) tidak terkena secara langsung terik matahari maupun air hujan.
3. Bagian sambungan kambiumharus menempel seerat mungkin, paling tidak salah satu dari bagiannya.
4. Pisau dan gunting yang digunakan untuk bagian sambungan ini harus yang tajam dan tidak berkarat, agar sambungan tidak terinfeksi oleh penyakit.
5. Dikerjakan dengan secepat mungkin, dengan kerusakan minimum pada cambium, dan diusahakan pernyataan pada scion jangan sampai berulang-ulang.
6. Usahakan untuk menjaga bagian yang terluka, baik pada scion maupun pada rootstok agar tetap dalam keadaan lembab.
7. Bagian sambungan harus dijaga dari kekeringan sampai beberapa minggu (Wudianto, 2002, dalam Erfin, 2005).

III. METODOLOGI PRAKTIKUM
A. Lokasi dan Waktu
Praktikum ini dilaksanakan di Laboratorium Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari, pada hari Kamis, tanggal 24 Februari 2011, pukul 15.30 WITA sampai dengan selesai.
B. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu parang/golok, selotip pipa, gunting stek, pisau stek, koran, mata tunas, rootstok, polybag, dan alat tulis menulis.
C. Prosedur Pelaksanaan
Prosedur pelaksanan pada praktikum ini yaitu sebagai berikut :
1. Pengambilan scion (mata tunas)
Mata tunas diambil pada tanaman jati disekitar gerbang dua kampus Unhalu, memilih mata tunas yang masih kuncup, dipo9ttong sepanjang 70-100 cm pada cabangnya dengan diameter 5 cm. pengambilan mata tunas disesuaikan dengan besar rootstok.
2. Persiapan rootstock
Rootstok atau batang bawah tempelan berasal dari semai jati yang berukuran 1-2 cm, berkayu, jaringan masih hidup ditandai dengan kulit batang yang masih hidup.
3. Pelaksanaan okulasi
Rootstok disayat sepanjang 7 cm dari atas ke bawah, kemudian sayatannya dipotong menggunakan pisau okulasi. Menyisakan sekitar 0,5-1 cm potongan tersebut yang berfungsi sebagai penahan scion. Menempelkan scion yang seukuran dengan lebar sayatan kemudian dibalut dan ditutup dengan menggunakan selitip pipa.
4. Penutupan okulasi dengan pastik bening
Penutupan dengan plastik bening bertujuan untuk menjaga kelembaban yang cukup disekitar area okulasi. Selanjutnya bahan okulasi dipelihara dan disiram setiap hari sampai 2-3 minggu.

DAFTAR PUSTAKA
Ardiant. 2009. Perbanyakan Tanaman dengan Okulasi (Budding). http://ardiant181.wordpress.com [ 23. Februari, 2011].
Dirjanto dan Sarifan,S. 1984. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan. Gramedia. Jakarta.
Hartmann. 1997. Bioteknologi Dalam Perbanyakan Tanaman / Kultur Jaringan.
http://eprints.uns.ac.id [ 23. Februari, 2011].
Abidin, Z. 1991. Dasar Pengetahuan Ilmu Tanaman. Angkasa. Bandung.
Pudjiono. 2007. Penerapan Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif pada Pemuliaan Pohon. http://pudjiono_blogspot.co.id [23 Februari 2011].
Suwandi. 2002. Perbanyakan Tanaman Pada Mangga. Gramedia. Jakarta.
Widiarsih. 2008. Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Buatan. http://willy.situshijau.co.id [23 Februari 2011].

EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kawasan hutan di Indonesia yang mencapai 120,5 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas total Indonesia, mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Selain berperan sebagai sumber pendapatan untuk 1,35 % angkatan kerja langsung dan 5.4 % angkatan kerja tidak langsung, hutan merupakan tulang punggung ekonomi nasional antara tahun 1985 – 1995an. Manfaat langsung dari hutan adalah penghasil kayu dan non kayu sedang manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi kehidupan manusia saat ini dan di masa yang akan datang.
Terjadinya perubahan lingkungan dan penggunaan lahan dicirikan dengan adanya dinamika perubahan (exchange) dan kompleksitas (complexity). Perubahan yang terjadi secara terus menerus dengan frekuensi dan intensitas yang berbeda-beda. Kompleks dan rumit antara komponen abiotik, biotik dan kultur yang semuanya masih memberikan kontribusi ketidak pastian dalam kondisi mendatang. Secara umum persoalan lingkungan hidup merupakan permasalahn yang penting dalam rangka pengembangan dan pembangunan wilayah di indonesia. Kerusakan dan degradasi lahan serta tidak optimaknya pemanfaatan sumberdaya alam semakin menambah kompleksitasnya permasalahan pengelolaan sumberdaya alam.
Degradasi sumber daya alam yang disebabkan oleh berbagai macam perlakuan baik legal maupun ilegal mengakibatkan terganggunya keseimbangan suatu ekosistem yang pada giliranya akan mengakibatkan berkurangnya fungsi ekosistem, seperti fungsi lindung, fungsi hidrologis (mengatur tata air) dan sebagai ruang semuamahluk hidup di dalam suatu wilayah.
B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari pada pembuatan makalah ini yaitu;
1. Mengetahui penyebab terjadinya deforestasi
2. Mengetahui akibat yang muncul yang disebabkan oleh deforestasi
3. Mengetahui langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi laju deforestasi
Sedangkan yang menjadi Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah dapat di ketahuinya penyebab dan dampak dari deforestasi serta langkah-langkah yang di ambil untuk mengurangi laju deforestasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kondisi Hutan indonesia
Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas ketiga di dunia dan ditempatkan pada urutan kedua dalam hal tingkat keanekaragaman hayatinya. Keanekaragaman hayati yang ada terdapat di bumi Indonesia meliputi: 10 persen spesies tanaman berbunga, 12 persen spesies mamalia, 16 persen spesies reptilia dan amfibia, 17 persen spesies burung, serta 25 persen spesies ikan yang terdapat di dunia.
Namun, potret keadaan hutan Indonesia dari sisi ekologi, ekonomi dan sosial ternyata semakin buram. Kerusakan hutan di Indonesia masih tetap relatif tinggi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan sektor kehutanan yang sangat pesat dan menggerakkan ekspor bagi perekonomian pada awal periode 1980-an sampai akhir 1990-an telah mengorbankan hutan karena kegiatan eksploitasi yang tidak terkendali dan dilakukan secara masif tanpa memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan. Konsekuensinya, Indonesia menjadi negara emiter karbon terbesar ketiga di dunia akibat hilangnya hutan karena terjadinya alih fungsi lahan hutan, kebakaran hutan, serta penebangan yang eksploitatif dan tidak terkontrol.
B. Deforestasi Di indonesia 
Saat ini Kerusakan hutan (deforestasi) masih tetap menjadi ancaman di Indonesia. Menurut data laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006 yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan1,17 juta hektar pertahun.
Bahkan kalau menilik data yang dikeluarkan oleh State of the World’s Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun. Laju deforestasi hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record memberikan ‘gelar kehormatan’ bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia. Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan 48 juta hektar juga mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas area HPH (hak penguasaan hutan). Dari total luas htan di Indonesia hanya sekitar 23 persen atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari deforestasi (kerusakan hutan) sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer. C. UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Konservasi Sumber Daya Alam Hayati menurut pasal 1 ayat (2) UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dirumuskan bahwa” pengelolalaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatanya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya”. Dengan demikian konservasi dalam undang-undang ini mencakup pengelolaan sumber alam hayati, yang termasuk didalamnya hutan. Sasaran konservasi yang ingin dicapai menurut UU No. 5 Tahun 1990, yaitu:
1. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan); 2. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah); 3. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari. Pengelolaan dan pemanfaatan untuk sumber daya hutan, dalam rangka kesinambungan usaha Perlindungan hutan, dengan maksud konservasi yang dilakukan dalam usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan agar kelestarian fungsi hutan dapat tetap terjaga.

III. PEMBAHASAN 
A. Penyebab Deforestasi
Saat ini pada dasarnya ada dua kubu dalam perdebatan yang berlangsung mengenai penyebab deforestasi di Indonesia. Di satu pihak ada penjelasan penjelasan yang memandang produksi petani kecil dan meningkatnya jumlah petani kecil sebagai penyebab utama deforestasi (Barbier et al. 1993, Fraser 1996). Penjelasan tersebut cenderung memandang penduduk sipil dan terutama petani kecil, sebagai faktor utama dalam pembabatan tutupan hutan. Di pihak lain ada penjelasan-penjelasan yang, meskipun mengakui peran besar produksi petani kecil dalam deforestasi, lebih menekankan pada peranan pemerintah dan proyek-proyek pembangunannya, dan pada sektor industri perkayuan (Dick 1991).
Secara umum penyebab terjadinya deforestasi di Indonesia adalah sebagai berikut
1. Kegiatan Pembalakan dan Industri Perkayuan
2. Pembangunan Perkebunan Besar
3. Pembangunan Hutan Tanaman Industri
4. Program Transmigrasi
5. Sistem Perladangan Berpindah dan Perambahan Hutan
6. Kepadatan Penduduk
7. Illegal Logging
B. Dampak Deforestasi
Akibat dari Deforestasi terhadap hampir semua jenis kawasan hutan termasuk hutan lindung dan kawasan konservasi mengakibatkan sejumlah implikasi bertingkat yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Deforestasi memperluas lahan kritis di dalam maupun di luar kawasan hutan. Lahan kritis mempunyai beberapa implikasi utama sebagai berikut :
1. Penurunan produktifitas lahan untuk pertanian dan perkebunan, penurunan produktifitas lahan berdampak pada produktifitas pangan dan produksi pertanian yang mempunyai dampak langsung pada pendapatan ekonomi pada tingkat masyarakat.
2. Lahan kritis kehilangan kemampuan menahan laju erosi dan daya tangkap air yang akan mempengatuhi DAS dalam hal (Hariadi, 1995) fluktuasi air menyebabkan banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau.
3. Kelangkaan sumber daya alam dalam hal ini yang berkaitan dengan hutan,selain itu juga dapat memicu terjadinya konflik perebutan sumberdaya tersebut.
4. Pengurangan pendapatan Negara akibat cost yang dikeluarkan dalam penanggulangan bencana, rehabilitasi lahan dan penanganan konflik di tingkat masyarakat.
5. Deforestasi hutan menyebabkan rusaknya hutan yang merupakan habitat bagi sejumlah flora dan fauna meskipun tidak mempunyai data pasti diperkirakan Indonesia akan kehilangan satu dari 50 species setiap tahun dimasa mendatang (Bappenas, 2003). Dampak buruk lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya kelestarian satwa dan flora di Indonesia utamanya flora dan fauna endemik. Satwa-satwa endemik yang semakin terancam kepunahan akibat deforestasi hutan misalnya lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan merak (Pavo muticus), owa jawa (Hylobates moloch), macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus bartelsi), merpati hutan perak (Columba argentina), dan gajah sumatera (Elephant maximus sumatranus). C. Langkah-langkah pencegahan terhadap laju Deforestasi
Ada beberapa langkah sebagai berikut untuk mengurangi laju dan dampak deforestasi :
1. Berkaitan dengan kegiatan pembalakan dan industri perkayuan, khususnya dalam hal pengelolaan konsesi/HPH dapat ditingkatkan dengan pembaharuan kebijakan.
2. Dilakukannya moratorium atau jeda tebang untuk mengatasi kerusakan hutan. Selain untuk memulihkan kondisi hutan yang rusak, jeda tebang juga memberi waktu bagi pemerintah membenahi karut-marut sektor kehutanan
3. Pembangunan Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri, berasal dari praktek konversi kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan dan kawasan penggunaan lain, maka perlu dilakukan penghentian (moratorium) konversi kawasan hutan.
4. Lahan areal pertambangan yang membuka areal luas sangat berdampak pada berkurangnya kawasan hutan dan lahan menjadi terbuka serta banyaknya lubang-lubang akibat kegiatan pertambangan maka Wajib melakukan Reklamasi pada kegiatan pasca tambang.
5. Intensifikasi lokasi Reboisasi pada Program GNRHL khususnya pada kawasan hutan yang tidak dibebani hak.

IV. PENUTUP
Manifestasi dari kehancuran hutan Indonesia ini dibuktikan dengan dipecahkannya rekor Guinnes World Record yang menetapkan Indonesia pada 2007 sebagai negara penghancur hutan tercepat. Sebagai salah satu dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia, Indonesia meraih tingkat laju penghancuran tercepat antara 2000 – 2005, yakni dengan tingkat 1,871 juta hektar atau sebesar 2 persen setiap tahun atau 51 kilometer persegi per hari, atau setara dengan 300 lapangan bola setiap jamnya. Padahal tingkat kerusakan tersebut merujuk pada data FAO yang bersifat konservatif.
Angka kehancuran Indonesia tersebut merupakan yang tertinggi dari 43 negara lain, disusul oleh Zimbabwe setiap tahun sebesar 1,7 persen dari luas hutan tersisa, Myanmar 1,4 persen, dan Brazil hanya 0,6 persen. Kerusakan hutan Indonesia tersebut sebaliknya telah menyelamatkan hutan Cina sebagai negara tujuan ekspor produk kayu terbesar dari Indonesia. Luas hutan Cina setiap tahun malah bertambah luas 2,2 persen. Sebaliknya Indonesia saat ini hanya menyisakan 28 persen hutan primernya.
Pada akhirnya, peran serta semua pihak untuk menyelamatkan hutan Indonesia adalah kunci utamanya. Tanpa adanya kesadaran arti penting hutan bagi kehidupan makhluk bumi, maka kerusakan bumi akan menjadi hal nyata. Pada akhirnya, manusialah yang paling merugi akibat kerusakan alam.

DAFTAR PUSTAKA
DepHut. 1995. Laporan: Inventarisasi dan Identifikasi Perladangan Berpindah/Perambahan Hutan Propinsi Kalimantan Timur, Tahun Anggaran 1994/1995. Dephut Kanwil Propinsi Kalimantan Timur, Samarinda.
Dick, J. 1991. Forest land use, forest use zonation, and deforestation in Indonesia: a summary and interpretation of existing information. (BAPEDAL).
FAO. 1996. Forest Resources Assessment 1990: Survey of Tropical Forest Cover and Study of Change Processes. FAO.
Fraser, A.I. 1996. Social, economic and political aspects of forest clearance and land-use planning in Indonesia.
Hariadi. 1993. Rendahnya kontribusi pengusahaan hutan terhadap pembangunan regional. (The low level of economic contribution of forest enterprises to the regional development.) Teknolog. http://mukti-aji.blogspot.com/2008/05/deforestasi-indonesia.html Kerusakan Hutan (Deforestasi) Di Indonesia _ Alamendah's Blog.htm
World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable Development of Forests, Land, and Water. The World Bank, Washington, DC.
World Bank. 1995. The economics of long term management of Indonesia’s natural forest.
Weinstock, J.A. and Satyawan Sunito. 1989. Review of shifting cultivation in Indonesia. Directorate General of Forest Utilization, Ministry of Forestry, Government of Indonesia and Food and Agriculture Organization of the United Nations, Jakarta.
PERLAKUAN SILVIKULTUR TERHADAP KUALITAS KAYU

A. KUALITAS KAYU
Kualitas kayu adalah ukuran ketepatan penggunaan kayu atau kesempurnaansetiap bahan kayu untuk keperluan yang diinginkan. Indikator kualitas kayu yang dipengaruhi oleh perlakuan silvikultur di lapangan antara lain kerapatan, keseragaman lingkaran tahun, panjang serat, proporsi kayu teras, persentase pori, persentase kayu juvenil, kayu reaksi, komposisi sellulosa, mata kayu, bentuk batang (selindris), orientasi serat dan komposisi kimia (Goudie 2002).
Indikator kualitas kayu akan berbeda tergantung tujuan akhir dari penanaman, sehingga untuk mendapatkan hasil yang maksimal perlu telaah yang mendalam tentang kualitas kayu yang bagaimana yang akan dihasilkan. Dengan kata lain, tidak ada ukuran yang absolut untuk pengukuran kualitas kayu karena hal tersebut sangat tergantung pada penggunaan akhir yang diinginkan. Sebagai contoh, penanaman untuk menghasilkan kayu bakar menginginkan jenis mudah tumbuh dengan daur yang pendek, tetapi dengan berat jenis yang tinggi sehingga dapat menghasilkan energi yang besar. Yang lainya, penanaman untuk bahan baku pulp dibutuhkan jenis penghasil serat panjang dengan berat jenis sedang dan mempunyai
kandungan sellulosa yang tinggi. Sedangkan penanaman untuk bahan baku konstruksi dibutuhkan kayu yang mempunyai kekuatan menahan beban yang berat serta awet untuk pemakaian yang lama sehingga kayu yang diperlukan adalah kayu dengan berat jenis dan kandungan ekstraktif yang tinggi. Lain halnya dengan bahan baku untuk
digunakan sebagai papan komposit yang memerlukan kayu dengan kandungan lignin atau sellulose dan berat jenis yang tinggi. Beberapa ahli kehutanan menyatakan bahwa semua jenis pohon penghasil kayu cepat tumbuh akan menghasilkan kualitas kayu (kelas awet dan kelas kuat) yang lebih rendah dibandingkan dengan pohon dengan umur maksimal. Di sisi lain, beberapa pengusaha kayu menuturkan bahwa masalah kualitas kayu sudah dapat dipecahkan dengan teknologi industri. Sifat mudah diolah dan dibentuk dari pohon cepat tumbuh dapat didifusikan sesuai keinginan pasar. Tingkat kekerasannya pun dapat direkayasa dengan teknik pengovenan. (Irwanto 2006).
B. INDIKATOR KUALITAS KAYU
1. Kayu Teras
Bagian kayu di mana bagian dari xylem masih hidup disebut kayu gubal tetapi pada periode tertentu, protoplasma sel-sel yang hidup dalam xylem mati, bagian ini dinamakan kayu teras (IAWA, 1957 dalam Prawirohatmojo, 2003). Kayu teras mempunyai sifat ketahanan yang tinggi, kadar air rendah dan keawetan yang tinggi, kandungan ekstraktifnya tinggi. Gambara tentang kayu teras (heartwood) dibandingkan dengan kayu gubal (sapwood) dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Potongan kayu dengan keadaan kayu teras dan kayu gubal
2. Kayu Reaksi
Kayu reaksi berbeda pada kayu daun jarum dengan pada kayu daun lebar. Pada kayu daun jarum dikenal dengan nama kayu tekan (compression wood) dan pada kayu daun lebar dikenal dengan nama kayu tarik (tension wood). Kayu tekan terbentuk pada bagian bawah dari suatu kemiringan batang pada kayu daun jarum, sedangkan kayu tarik terbentuk pada bagian sisi atas dari bagian yang miring pada kayu daun lebar (Bowyer et al, 2003; Tsoumis, 1991).
Karakteristik sel-sel trakeid pada kayu tekan yaitu terdapat ruang-ruang antar
sel (intersellular spaces) karena trakeida pada kayu tekan berbentuk bulat. Sifat kayu
tekan lainnya adalah lebih pendek (10-40%) dari panjang trakeida kayu normal, kandungan lignin yang tinggi (9%) dan sellulosa yang rendah (10 %) dari kayu
normal, memiliki kerapatan (40%) dan penyusutan longitudinal (6-10%) yang tinggi, memiliki sifat mekanis antara lain kekakuan, kekuatan geser yang rendah (Tsoumis, 1991).
Pada kayu tarik proporsi serat lebih banyak, pembuluh lebih sedikit dibanding kayu normal, terdapat lapisan gelatinous pada lapisan dinding sekunder (S1, S2 dan S3) dengan sudut mikrofibril yang hamper sejajar dengan sumbu batang, kandungan sellulosa lebih tinggi dan lignin yang rendah dari kayu normal, mempunyai derajat kristalinitas yang tinggi, memiliki kerapatan (2-20%) dan penyusutan ( ≤ 1,5%) yang tinggi daripada kayu normal, Papan yang mengandung kayu reaksi bila diserut pada kondisi basah, pada permukaannya akan timbul serat-serat yang halus (woolly grain) sehingga dapat menurunkan kualitas papan yang dihasilkan (Bowyer et al, 2003). Adanya kayu tarik dapat mengakibatkan terjadinya lengkungan dan gelombang pada veneer yang dibuat, menyebabkan kayu collapse pada proses pengeringan, dan apabila diproses secara kimia menyebabkan kesulitan dalam pemasakan (konsumsi kimia tinggi) dan sulit digiling.
3. Kayu Juvenil
Kayu juvenile adalah kayu yang dibentuk oleh kambium pada tahun-tahun pertama pertumbuhan pohon, dimana pembelahan sel-sel kambium membentuk xylem masih dipengaruhi oleh auxin pada tajuk (Panshin and de Zeeuw, 1980). Sifatsifat kayu juvenile antara lain kerapatan rendah, ratio antara lignin dan sellulosa tinggi, panjang trakeid pendek ( < 2 mm ), dinding selnya tipis, menghasilkan kurang dari 3 % holosellulose dan 8 % alfa sellulosa dibanding kayu dewasa, sudut mikrofibrilnya
yang lebar mengakibatkan kestabilan dan kekuatannya rendah, mudah pecah, retak dan melengkung. Tetapi disamping kualitas yang jelek, kayu juvenile mempunyai sifat yang cukup bagus untuk kertas tissue dengan metode ground wood pulping (Zobel, 1984 ; Goudie, 2002).
Adanya kayu juvenile pada bahan baku yang diolah terbukti dapat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Keberadaan kayu juvenile sekitar 20 % pada produk furniture akan mempengaruhi kualitas dari produk tersebut (Zobel, 1984). Selain itu, kertas yang diproduksi dari kayu juvenile mempunyai sifat kekuatan sobek yang rendah dan papan yang dihasilkan dari kayu juvenile juga mempunyai sifat penyusutan tinggi, cepat melengkung dan memiliki kekuatan yang rendah.
4. Mata Kayu
Mata kayu dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu mata kayu padat (tight knots) dan mata kayu lepas (loose knots). Mata kayu padat disebabkan karena adanya cabang hidup yang terbenam dalam batang sedagkan mata kayu lepas diakibatkan oleh cabang yang mati atau mata kayu yang muncul akibat cambium yang terbuka pada batang. Produk kayu dengan mata kayu sehat dan mata kayu lepas dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Mata kayu pada permukaaan produk kayu
Persentase mata kayu yang tinggi akan menghasilkan pulp berkualitas jelek, butuh bahan pemutih (bleaching) yang tinggi dan kertas yang dihasilkan tidak kuat. Kandungan ekstraktif yang tinggi pada mata kayu juga tidak diinginkan karena akan menghasilkan papan dengan kekuatan yang rendah dan kayu lapis yang tidak stabil
(Zobel, 1984).
5. Bentuk batang
Bentuk batang adalah salah satu komponen penentu volume pohon, selain diameter dan tinggi pohon. Bentuk batang diantaranya dapat digambarkan oleh angka bentuk (form factor) dan taper. Bentuk batang dinilai dari pangkal batang sampai tinggi bebas cabang. Diukur panjang batang yang lurus dan silindris dari pangkal batang/permukaan tanah. Taper adalah pengurangan atau semakin mengecilnya diameter batang dari pangkal hingga ke ujung. Chapman dan Meyer (1949) dalam
Muhdi (2003) menyatakan bahwa taper merupakan resultante dimensi pohon yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan tinggi dan diameter pohon. Makin besar angka taper suatu batang pohon makin rendah rendemen bila dibuat kayu lapis dan papan gergajian. Bentuk batang ditentukan oleh faktor genetik (inheritance), tetapi dapat mengalami perubahan karena adanya faktor dari luar seperti lingkungan dan perlakuan silvikultur. Lingkungan dan perlakuan silvikultur dapat mempengaruhi fisik, ukuran dan bentuk tajuk pohon.
6. Kerapatan
Kerapatan kayu adalah perbandingan antara massa kayu dengan volume kayu pada kondisi tertentu. Kerapatan kayu menggambarkan massa dari dinding sel kayu tersebut pada volume tertentu. Sifat ini dipengaruhi adanya kayu awal dan kayu akhir, zat ekstraktif, laju pertumbuhan dan proporsi dan tipe sel penyusun kayu. Pada kayu daun lebar tata lingkar, kerapatan meningkat seiring dengan laju pertumbuhan, sedangkan pada kayu daun lebar tata baur dan beberapa kayu daun jarum korelasi kerapatan dengan laju pertumbuhan tidak nampak. Pada kayu daun jarum yang mempunyai lingkaran tahun yang jelas, laju pertumbuhan yang meningkatkan akan menurunkan kerapatan, karena keberadaan kayu awal.
Kayu dengan kerapatan yang tinggi akan lebih kuat untuk digunakan sebagai
kayu konstruksi. Kerapatan tinggi juga akan menghasilkan pulp per satuan massa yang tinggi dibanding kayu yang mempunyai kerapatan yang rendah.
7. Panjang Serat
Pertumbuhan yang dipercepat akan menghasilkan panjang trakeid pada kayu
daun jarum menjadi pendek, sebaliknya pada kayu daun lebar, pertumbuhan yang dipercepat akan menghasilkan panjang serat yang panjang. Perlakuan silvikulture di lapangan dan faktor genetik akan mempengaruhi panjang pendeknya serat.
Kayu sebagai bahan baku pulp sangat membutuhkan kayu berserat panjang. Semakin panjang serat, sudut mikrofibrilnya makin kecil sehingga kestabilan dari kayu tersebut akan semakin stabil, cocok untuk bahan baku konstruksi.
8. Arah Serat
Percepatan pertumbuhan dengan perlakuan silvikultur yang intensif (terutama irigasi) cenderung mengurangi terjadinya “serat terpilin” (Wahyudi, 2009). Pemangkasan di awal periode pertumbuhan juga cenderung menekan terjadinya “serat terpilin”
C. PERLAKUAN SILVIKULTUR
Silvikultur adalah model untuk menciptakan dan memelihara berbagai tipe hutan dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya secara objektif baik itu sebagai pemilik maupun sebagai pemerintah atau cara penanganan hutan dengan pengetahuan tipe hutan, bagaimana pohon tumbuh, bereproduksi, dan perubahan terhadap lingkungan yang dimodifikasi dalam praktek untuk menghasilkan nilai ekonomi (Daniel et al 1979 ; Smith et al 1997). Peran silvikultur dalam pengelolaan hutan adalah kontrol pembentukan, pertumbuhan, komposisi dan kualitas vegetasi hutan (Daniel et al 1979). Peranan ini sangat penting tergantung dari tujuan akhir
pengelolaan suatu tegakan. Perlakuan silvikultur dan pengaruhnya terhadap sifat sifat kayu dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan Silvikultur dan Sifat-sifat Kayu yang Dipengaruhi
Perlakuan Silvikultur
Sifat-sifat kayu yang dipengaruhi
Jarak Tanam
Berat jenis, kayu juvenile, mata kayu dan taper
Penjarangan
Berat jenis, kayu juvenile, kayu reaksi, mata kayu, dan taper
Pemupukan
Berat jenis,keseragaman, lingkaran tahun, kayu juvenile, mata kayu, panjang serat, dan komposisi kimia
Irigasi
Berat jenis, keseragaman lingkaran tahun , kayu juvenile, mata kayu, panjang serat, dan orientasi serat
Pemangkasan
Mata kayu, taper, dan orientasi serat
Jarak tanam yang lebar menghasilkan pohon-pohon yang berdiameter besar, tajuk yang terus menerus tumbuh dan volume per hektar kecil (Goudie 2002 ; DeBell,Curtis 2003) sehingga perlu kombinasi antara jarak tanam yang lebar dengan pemangkasan. Jarak tanam yang rapat akan mencegah pembentukan cabang-cabang besar dan mengurangi besarnya ukuran mata kayu (Chauhan 2006). Sifat mekanika kayu akan berubah dengan perlakuan jarak tanam karena perubahan kerapatan, hasil penelitian Ellis’s (1998), menunjukkan nilai MOR akan berkurang 16 % dan nilai MOE akan berkurang 12 % (Goudie 2002).
Perlakuan penjarangan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan panjang rotasi, meningkatkan ukuran mata kayu akibat dari pengaruh tajuk (Chaucan 2006). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yunianti (2002) penjarangan
mempengaruhi diameter serat dan kandungan lignin pada tegakan Acacia mangium setelah 11 bulan dijarangi. Hasil penelitian Heriansyah et al (2007) menunjukkan kerapatan kayu pada tegakan yang tidak dijarangi lebih tinggi dibanding pada tegakan yang dijarangi. Proporsi dari biomassa batang pada tegakan yang dijarangi cenderung konstan selama periode penjarangan dan setelah itu agak meningkat seiring dengan umur sedangkan biomass daun menurun. Pada tegakan yang tidak dijarangi proporsi biomassa batang meningkat seiring dengan umur sedangkan biomassa daun menurun secara drastis ketika terjadi persaingan pada umur muda tetapi relatif menjadi konstan setelah itu.
Perlakuan pemupukan akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan, berat jenis, perubahan kayu awal ke kayu akhir, kayu juvenile, ukuran dan keberadaan mata kayu, panjang serat dan komposisi kimia (DeBell,Curtis 2003). Pemupukan meningkatkan kecepatan pertumbuhan sehingga meningkatkan pertumbuhan tajuk dan pembentukan cabang yang terus menerus sehingga meningkatkan jumlah kayu reaksi dan jumlah dan ukuran cabang. Adanya irigasi akan mempengaruhi berat jenis, lingkaran tahun, kayu juvenile, mata kayu, panjang serat dan orientasi serat. Perlakuan pemangkasan akan mengurangi jumlah dan ukuran mata kayu, bentuk batang, orientasi serat dan mempercepat perubahan dari kayu juvenile ke kayu dewasa (DeBell et al 2002 ; DeBell,Curtis 2003). Salah satu contoh misalnya kayu jati, dikatakan mempunyai kualitas yang baik jika memiliki kayu yang lurus. Untuk mendapatkan kayu yang lurus adalah dengan pemilihan bibit unggul. Perkembangan teknologi khususnya dalam bidang rekayasa genetik (Pemuliaan Pohon / Tree
Improvement) telah menghadirkan jati varietas unggul. Jati yang dihasilkan diharapkan memiliki keunggulan komparatif berdaur pendek (± 15 tahun), sedikit cabang, batang lurus dan silindris. Kenyataan di lapangan kadangkala tanaman jati dari bibit yang unggul memiliki cabang sehingga untuk memaksimalkan hasil panen nantinya perlu dilakukan penebangan pada cabang-cabang atau ranting tanaman jati tersebut (Anonim 2006). Pemotongan cabang secara berkala dilakukan agar tanaman jati pada usia muda dapat berkembang pada satu batang saja, sehingga pertumbuhan keatas dapat dipercepat sehingga batang yang dihasilkan dapat lurus (tidak bercabang).
Beberapa penyebab utama penurunan kualitas kayu akibat percepatan pertumbuhan adalah ukuran dan frekuensi mata kayu, kayu reaksi dan serat terpuntir (Daniel et al 1979) dan meningkatnya periode kayu juvenil. Kayu juvenil umumnya mempunyai kerapatan yang rendah, panjang serat yang pendek, perbandingan antara lignin dan sellulose tinggi, sudut mikrofibril yang besar sehingga sifat mekanikanya yang rendah, papan yang dihasilkan penyusutannya tinggi, melengkung dan rendemen pulp yang dihasilkan rendah (Goudie 2002; DeBell,Curtis 2003 ).
Berat jenis merupakan sifat kayu yang sangat penting dalam penggunaan kayu. Pohon-pohon yang pertumbuhannya dipercepat akan mempunyai berat jenis yang berbeda dengan pohon yang tumbuh alami pada jenis dan lokasi yang sama. Tetapi beberapa penelitian terdahulu menyatakan berat jenis tidak dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan (DeBell et al 2002; Koga,Zhang2002 ; Bowyer et al 2003).
.

Jumat, 24 April 2015

LAPORAN PRAKTIKUM
EKOLOGI HUTAN

( Analisis Komunitas Tumbuhan Dengan Menggunakan
Metode Petak Ganda )

 
OLEH :

LA Ode Zainal Abidin RZ
D1B5 05 076

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012


KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat dan petunjuk Allah SWT , Tuhan Semesta Alam, karena atas limpahan rahmat dan hidyah-Nya sehingga laporan lengkap “Praktikum Ekologi Hutan” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa laporan lengkap ini jauh dari kesempurnaan. Hal ini disebabkan keterbatasan penulis dalam mengkaji dan menelaah rujukan-rujukan yang menjadi acuan dalam menyusun laporan lengkap ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca demi kesempurnaan laporan lengkap ini.
Terima kasih yang teristimewa dan terutama sekali disampaikan kepada Ibunda, atas segala doa restunya demi keberhasilan penulis dalam menuntut ilmu. Semoga apa yang telah mereka korbankan selama ini menjadi mahkota keselamatan didunia dan di akhirat
Tak lupa pila penulis mengucapakn terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu dalam proses penyelesaian laporan ini. Akhir kata saya ucapkan, semoga laporan ini dapat bermanfaat dalam dunia pendidikan khususnya pada Jurusan Kehutanan. Amin.
Kendari, 2012
Penulis

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organism yang satu dengan dengan organism yang lain serta lingkungannya. Hubungan timbal balik sebagai interaksi antar organisme dengan lingkungannya sesungguhnya merupakan hubungan yang sangat erat dan kompleks, sehingga ekologi disebut juga sebagai biologi lingkungan. Lingkungan merupakan gabungan dari berbagai komponen fisik maupun hayati yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang ada didalamnya.
Sedangkan ekologi hutan adalah cabang dari ekologi yang khusus mempelajari ekosistem hutan. Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem karena hubungan antara masyarakat tetumbuhan pembentuk hutan dengan binatang liar dan alam lingkungannya sangat erat. Oleh karena itu hutan yang dipandang sebagai suatu ekosistem terbagi atas segi autekologi dan segi sinekologi. Dari segi autekologi, yang dipelajari dihutan adalah pengaruh sustu lingkungan terhadap hidup dan tumbuhnya suatu jenis pohon yang sifat kajiannya mendekati fisiologi tumbuhan, dan suatu jenis binatang liar atau margasatwa. Sedangkan dari segi sinekologi, yang dapat dipelajari yaitu berbagai kelompok jenis tumbuhan sebagai suatu komunitas, misalnya pengaruh keadaan tempat tumbuh terhadap komposisi dan struktur vegetasi, atau terhadap produksi hutan.
Hutan menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1990 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisis sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainya tidak dapat dipisahkan. Pohon adalah tumbuhan berkayu yang mempunyai tinggi diatas 5 meter dan berdiameter diatas 35 cm.
Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau kompisisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau duselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin di capai dalam analisis komunitas adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari.
Komunitas merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh, sekaligus sebagai sistem yang dinamis. Struktur komunitas hutan kampus UNHALU tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antar spesies tetapi juga dipengaruhi oleh jumlah individu dari setiap spesies organisme. Oleh karena itu, maka pentingnya kita melakukan praktek analisis komunitas tumbuhan untuk mengetahui hubungan antar spesies.
B. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum ekologi hutan adalah untuk mengetahui komposisi spesies dari struktur komunitas tumbuhan pada suatu kawasan hutan tertentu yang menjadi obyek pengamatan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan dan Fungsi Hutan
Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia karena dapat memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi Negara. Hutan juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar hutan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya baik berupa kayu, binatang liar, pangan, rumput, lateks, resin, maupun obat-obatan. Selain itu, hutan merupakan gudang plasma nutfah dari berbagai jenis tumbuhan dan fauna, sebagai sumber inspirasi, sarana untuk mengenal dan mengagumi keagungan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai temapt rekreasi (Indriyanto, 2006).
Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat komplek dengan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh rapat, mulai dari yang kecil sampai yang berkuran raksasa. Termasuk didalamnya adalah lumut dan jamur yang kemudian mengadakan hubungan kehidupan yang sangat menunjang, terutama pada hutan hujan yang berisi struktur aneka lingkungan hidup. Diantara hutan yang kelembabannya tinggi dan gelap, akan ditemui sedikit kehidupan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan yang memerlukan sinar matahari tidak akan mampu hidup pada daerah tersebut (Arif, 1994).
Hutan merupakan pengatur tata air, karena daun-daun yang lebat menyebabkan air hujan yang jatuh dengan derasnya tidak langsung mengena tanah, sehingga tidak terjadi perlumpuran yang bias mengakibatkan erosi atau
tanah longsor. Perakaran dari pohon-pohon menyerap dan menahan air hujan, sehingga berkesempatan masuk dalam tanah sampai lapisan tanah kedap air dan muncul disuatu temapat sebagai mata air atau sumber air (Dwidjoseputro, 1990).
Hutan sebagai suatu ekosistem adalah merupakan hasil dari interaksi faktor-faktor biotik dan abiotik. Di dalamnya terdapat suatu persaingan antara individu-individu dari suatu species atau dari berbagai species jika mempunyai kebutuhan yanag sama. Persaingan ini membentuk masyarakat tumbuhan tertentu, macam dan banyaknya jenis sertajumlah individu-individu dengan keadaan tempat tumbuhnya (Ruslan, 1986).
Hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan diluar hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1982).
B. Komunitas, Struktur dan Komposisi Vegetasi
Homogent tidaknya suatu komunitas tumbuhan dapat ditentukan dengan menggunakan “Hukum Frekuensi” (Laws of Frequency). Frekuensi dapat menunjukkan homogenitas dan penyebaran dari individu-individu spesies dalam komunitas. Untuk mengetahui homogenitas suatu komunitas, nilai frekuensi tiap spesies dikelompokkan ke dalam lima kelas (Raunkiaer, 1934 dalam Gopal dan Bhardwaj, 1979)
Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kuantitatif dan kualitatif . dengan demikian, dalam deskripsi struktur komunitas tumbuhan dapat dilakukan secara kualitatif dengan parameter kualitatif atau secara kuantitatif dengan parameter kuantitatif (Indriyanto, 2006).
Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara,1998).
Keragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Keanekaragaman spesies juga dapat digunakan utnuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada ganguan terhadap komponen-komponennya (Soegianto, 1994).
Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuh-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Danserau- Dombois,1974).
C. Parameter Kualitatif dalam Komunitas Tumbuhan
Untuk keperluan deskripsi vegetasi tersebut ada tiga macam parameter kuantitatif yang penting, antara lain: densitas, frekuensi dan kelindungan. Kelindungan yang dimaksud sebenarnya sebagai bagian dari parameter Dominasi (Kusmana, 1997).
Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan diperlukan parameter kualitatif, hal ini sesuai dengan sifat komunitas tumbuhan itu sendiri bahwa dia memiliki sifat kualitatif dan kuantitatif. Beberapa parameter kualitatif komunitas
tumbuhan antara lain, fisiognomi, fenologi, stratifikasi, kelimpahan, penyebaran, daya hidup, bentuk pertumbuhan, dan periodifitas (Indriyanto, 2006).
Meskipun demikian, masih banyak parameter kuantitatif yang dapat digunakan untuk mendeskripsi komunitas tetumbuhan, baik dari segi struktur komunitas maupun tingkat kesamaannya dengan komunitas lainnya. Parametr yang dimaksud utnuk kepentingan tersebut adalah indeks keanekaragaman spesies dan indeks kesamaan komunitas (Soegianto, 1994).
Komunias komunitas tanaman digunakan sebagai model organisassi komunitas. Banyak ekolog membuktikan bahwa pada bbeberapa keadaan, vegetasi membuntuk continuum, pada keadaan yang lain vegetasi membentuk komunitas yang berbeda dan sebagian besar vegetasi berada dimana mana diantara kondisi tersebut (Dwidjoseputro, 1990).
Penyebaran adalah parameter kualitatif yang menggambarkan keberadaan spesies organisme pada ruang secara horizontal. Penyebaran tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu random, seragam, dan berkelompok (Indriyanto, 2006).
D. Analisis Vegetasi
Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau kompisisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau duselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin di capai dalam analisis komunitas
adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari ( Indriyanto, 2006).
Hasil analisis komunitas tumbuhan disajikan secara deskripsi mengenai komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu komunitas tidak hanya dipengaruhi oelh hubungan antara spesies, tetapi juga oleh jumlah individu dari setiap spesies organisme (Soegianto, 1994)
Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif dan kuantitatif (Gopal dan Bhardwaj, 1979). Dengan demikian, dalam deskripsi struktur komunitas tumbuhan dapat dilakukan secara kualitatif dengan parameter kualitataif atau secara kuantitatif dengan parameter kuantitatif.
Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk suatu kondisi hutan yang luas, maka kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling, artinya kita cukup menempatkan beberapa petak contoh untuk mewakili habitat tersebut (Dwidjoseputro, 1990).
E. Metode Pengambilan Contoh dalam Komunitas Tumbuhan
Analisis vegetasi ditujukan untuk mempelajari tingkat suksesi, evaluasi hasil pengendalian gulma, perubahan flora (shifting) sebagai akibat metode pengendalian tertentu dan evaluasi herbisida (trial) untuk menentukan aktivitas suatu herbisida terhadap jenis gulma di lapangan.Konsep dan metode analisis vegetasi sangat bervariasi tergantung keadaan vegetasi dan tujuan analisis (Sastroutomo, 1990).
Pengambilan contoh untuk analisis komunitas tumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan metode petak (plot), metode jalur, ataupun metode kuadran. Metode petak merupakan prosedur yang paling umum digunakan untuk pengambilan contoh berbagai tipe organisme termasuk komunitas tumbuhan. Petak yang digunakan dapat berbentuk segi empat, persegi, atau lingkaran (Indruyanto, 2006).
Jumlah jalur contoh disesuaikan dengan intensitas samplignya. Jalur contoh yang berukuran lebar 20 m dapat dibuat dengan intensitas sampling 2% - 10 % (Soerianegara dan Indrawan, 1982).
Metode kuadran umumnya dipergunakan untuk pengambilan contoh vegetasi tumbuhan jika hanya vegetasi fase pohon yang menjadi objek kajiannya. Metode itu mudah dikerjakan, dan lebih cepat jika akan dipergunakan untuk mengetahui komposisi jenis, tingkat dominasi, dan menaksir volume pohon. Syarat penerapan metode kuadran adalah distribusi pohon yang akan diteliti harus acak. Dengan kata lain, bahwa metode ini kurang tepat dipergunakan jika populasi pohon berdistribusi mengelompok ataupun seragam (Soegianto, 1994).
Metode kuadran atau metode titik pusat kuadran merupakan metode sampling tanpa petak contoh yang dapat dilakukan secara efisien karena dalam pelaksanaannya di lapangan tidak memerlukan waktu lama dan mudah dikerjakan (Kusmana, 1997).

III. METODOLOGI PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan Pada Hari Sabtu 30 Juni 2012 Pukul 08.00 sampai selesai, bertempat Hutan Lindung Nanga-Nanga.
B. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan pada praktikum Analisis Komunitas Tumbuhan yaitu tali rafia sepanjang 20 m, meteran kain, kamera digital, parang, alat tulis menulis dan hagameter.
C. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Membuat plot sebagai batasan luas-luas unit pengamatan sebanyak empat plot dengan ukuran masing-masing 20 x 20 meter, 10 x 10 meter, 5 x 5 meter, dan 2 x 2 meter.
2. Mengamati dan mecatat jenis-jenis pohon yang ditemukan pada plot dengan ukuran 20 x 20 meter pada  tally sheet.
3. Mengamati dan mencatat jenis-jenis tiang yang ditemukan pada plot dengan ukuran 10 x 10 meter pada tally sheet.
4. Mengamati dan mencatat jenis-jenis pancang (sapihan) yang ditemukan pada plot dengan ukuran 5 x 5 meter pada tally sheet.
5. Mengamati dan mencatat jenis-jenis semai yang ditemukan pada plot dengan ukuran 2 x 2 meter pada tally sheet.
6. Mendokumentasikan semua jenis yang diidentifikasi.
7. Menghitung nilai density/kerapatan (D), dan relative density (RD), Frekuensi (F), dan relative Frekuensi (FR), cover/tutupan (C), dan cover/tutupan relative (C/CR), indeks nilai penting (INP), dan summe dominance ratio (SDR), berdasarkan rumus masing-masing parameter tersebut.

B. Pembahasan
1. Tingkat pohon
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap data yang telah dikumpulkan di lokasi praktikum, maka diperoleh hasil analisis kuantitatif pada tingkatan pohon yang menunjukkan bahwa kerapatan tertinggi detemukan pada jenis Eha ( Castanopsisi buruana ) yaitu 16,67 indv/ Ha, kemudian diikuti oleh Pulai (Alstonia scholaris), jenis I dan jenis H dengan kerapatan masing-masing 12,50 indv/Ha. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis-jenis inilah yang banyak ditemukan di lokasi penelitian, meskipun belum dapat memberikan informasi yang tepat mengenai tingkat penyebaran dari jenis-jenis tersebut. Hasil ini juga menunjukkan bahwa dari 14 spesies pohon yang ditemukan dilokasi penelitian, jenis Eha ( Castanopsis buruana ) merupakan spesies yang mempunyai jumlah individu terbanyak diantara spesies-spesies yang lain, atau dapat pula dikatakan jenis tersebut memiliki pola penyesuaian yang besar serta merupakan penciri umum komunitas tumbuhan pada lokasi studi, khususnya untuk tingkatan pohon. Nilai kerapatan ini dapat menggambarkan bahwa jenis dengan nilai kerapatan tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar.
Kerapatan terendah ditemukan pada jenis Toho, Sio, jenis B, jenis X dan Syzigium dengan tingkatan kerapatan 2,08 indv/Ha atau masing-masing 1 indv/Ha. Dari gambaran diatas dapat diperoleh gambaran bahwa jenis-jenis tersebut memiliki kemampuan yang rendah dalam proses persaingan didalam m,asyarakat hutan, baik itu terjadi persaingan antara individu dari satu jenis atau
dari berbagai jenis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam hal cahaya, ruang tumbuh, oleh tajuk-tajuk diatas lantai hutan, hara mineral, air tanah oleh akar dibawah lantai hutan.Kerapatan total tingkatan pohon, diperoleh nilai 102,08 indv/Ha. Ini mengindikasikan banyaknya jumlah individu vegetasi tingkat pohon yang ditemukan pada lokasi praktikum.
Frekuensi tertinggi ditunjukkan oleh jenis Eha dengan nilai frekuensi 0.42 Kondisi ini memberikan gambaran pada tingkatan pohon, jenis tersebut mampu menyebar 42%/per hektar kawasan atau dapat pula disimpulkan bahwa, jenis inilan yang penyebarannya paling luas pada lokasi pengamatan dengan tingkat kemunculan yang tinggi atau ditemukan pada 5 plot pengamatan dari total 13 plot yang terbuat dalam praktikum ini. Semakin banyak petak contoh suatu spesies yang ditemukan, semakin besar frekuensi spesies tersebut. Sebaliknya, jika makin sedikit petak contoh yang didalamnya ditemukan suatu species, makin kecil frekuensi species tersebut.
Frekuensi relative merupakan propersi frekuensi suatu jenis tertentu terhadap frekuensi total semua jenis dalam persen. Untuk nilaai frekuensi relatif tertinggi ditemukan pada jenis Eha ( Castanopsisi buruana ), dengan nilai 17,22%. Sedangkan nilai frekuensi relatif terendah ditemukan pada jenis B, O, jenis P, syzigium, Sio, Toho, dan Jenis X dengan nilai 3,44%. Spesies dengan frekuensi rendah mempunyai jumlah individu yang lebih sedikit dari spesies dengan frekuensi tertinggi “ maka dapat dijelaskan bahwa spesies-spesies yang menyusun komunitas tumbuhan tingkatan pohon di lokasi praktikum terdistribusi normal.
Untuk para meter dominansi, jenis pohon yang memiliki nilai tertinggi ditunjukkan oleh jenis Jambu-jambuan 5374,20 m2 /Ha yang mengindikasikan bahwa jenis ini menempati ruang tumbuh yang paling besar pada lokasi pengamatan, meskipun tingkat penyebarannya tidak sebesar jenis Eha.
Dominansi relative merupakan propersi dominansi suatu jenis tertentu terhadap dominansi total semua jenis dalam persen. Untuk nilai dominansi relative tertinggi ditemukan pada jenis Jambu-jambuan dengan nilai 24,132%. Sedangkan nilai dominnasi relataif terendan ditemukan pada jenis B dengan nilai 1,94%.
Hasil Perhitungan Indeks Nilai Penting, nilai terbesar untuk tingkatan pohon ditemukan pada jenis Jambu-jambu yakni 24,13%. Meskipun penyebarannya tidak terlalu luas namun jenis ini mempunyai nilai kerapatan dan dominansi yang paling tinggi sehingga menghasilkan nilai penting yang tinggi dari jenis lain. Sedangkan jenis pohon yang memiliki Indeks Nilai Penting terendah ayaitu jrnis B, dengan nilai 1,94%.
Hasil perhitungan Indeks Keragaman, nilai terbesar untuk tingkat pohon ditemukan pada jenis B, Syzigium, Sio, Toho, dan jenis X dengan nilai masing-masing 1,69. Sedangkan jenis pohon yang memiliki Indeks keragaman terendah yaitu Eha dengan nilai 0,79.
2. Tingkat tiang
Pada tingkat tiang, kerapatan tertinggi ditemukan pada jenis I yaitu 50,00 indv/Ha, kemudian diikuti oleh jenis K dan N, dengan kerapatan masing-masing 25,00 indv/Ha. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis-jenis inilah yang banyak ditemukan dilokasi studi, meskipun belum dapat memberikan informasi yang tepat mengenai tingkat penyebaran dari jenis-jenis tersebut. Kerapatan terendah diperlihatkan oleh jenis A, G, O, jenis sio, jenis T, V, dan jenis Toho dengan tingkat kerapatan masing-masing 8,33 indv/Ha atau masing-masing 1 indv/Ha.
Kerapatan relative merupakan proporsi kerapatan suatu jenis tertentu terhadap kerapatan total kesemua jenis dalam persen. Untuk nilai kerpatan relative tertinggi ditemukan pada jenis Jambu-jambu, dengan nilai 58,33%. Sedangkan nilai kerapatan relative terendah ditemukan pada jenis A, G, O, sio, T,Vdan jenis Toho dengan tingkat kerapatan relative 1,82% atau dapat dikatakan setiap jenis diatas hanya terdapat kurang lebih 1 individu dalam setiap jenis hektar.
Frekuensi tertinggi ditunjukan oleh jenis H, dengan nilai frekuensi 0.33. kondisi ini memberikan gambaran bahwa pada tingkatan tiang, jenis tersebut mampu menyeber 50% per hektar kawasan atau dapat pula disimpulkan bahwa, jenis jenis inilah penyebarannya paling luas pad lokasi stusdi, yang mempunyai tingkat kemunculan yang tinggi atua ditemukan dalam 4 plot pengamatan dari total 13 plot yang dibuat dalam penelitian ini. Frekuensi terendah diperlihatkan oleh jenis A, Ruruhi, G,Eha, B, J, M dan jenis O dengan frekuensi masing-masing 0.08atau hanya ditemukan pada satu buah petak contoh dari 13 plot yang diamati. ini mengindikasikan bahwajenis-jenis tersebut merupakan spesies yang
penyebarannya terbatas, yang juga berarti mempunyai kemampuan adaptasi yang rendah terhadap kondisi lingkungan pada lokasi pengamatan.
. Frekunsi relative merupkan proporsi frekuensi suatu jenis tertentu terhadap frekuensi total semua jenis dalam persen. Untuk nilai frekuensi relative tertinggi ditemukan pada jenis H, dengan nilai 11,78% . Sedangkan nilai ralatif frekunsi terendah ditemukan pada jenis A, Ruruhi, G, Eha, B, J, M dan jenis O dengan masing-masing 2,94 %. Hukum frekuensi menyatakan bahwa “’ spesies dengan frekuensi rendah mempunyai jumlah individu yang lebih banyak dari spesies dngan frekuensi tinggi “.
Parameter dominansi, jenis vegetasi yang memiliki dominansi tertinggi untuk tingkat Tiang ditujukan oleh jenis V dengan nilai 2007,03 m2/Ha. Ini memberikan gambaran bahwa jenis ini menempati ruang tumbuh yang paling brsar pada lokasi studi. Besarnya penguasaan terhadap ruang tumbuh disebabkan oleh besarnya nilai LBDS jenis tersebut, yang mengindikasikan bahwa jenis tersebut tumbuh dengan baik pada lingkungan dimana dia berada sehingga mampu mendominasi ruang tumbuh. Parameter dominasi terendah untuk tingkat tiang ditunjukan oleh jenis syzigium dan jambu-jambu dengan nilai masing-masing 80,28 m2/Ha.
Dominansi relative merupakan propersi dominansi suatu jenis tertentu terhadap dominansi total semua jenis dalam persen. Untuk nilai dominansi relative tertinggi ditemukan pada jenis V dengan nilai 8,71%. Sedangkan nilai relative terendah ditemukan pada jenis syzigium dan jambu-jambuyakni 0,35 % , atau
dapat dikatakan hanya 0.35% saja yang ditutupi oleh jenis syzigium dan jambu-jambu dari keseluruhan luas total penutupan seluruh vegetasi pada lokasi studi.
Hasil perhitungan nilai indeks penting, nilai tebesar untuk tingkatan tiang ditemukan pada jenis I dengan nilai 24,5. dari hasil ini maka dapat diperoleh gambaran bahwa secara umum species I merupakan species pada tingkat tiang yang paling besar perananya dalam komunitas tumbuhan pada lokasi studi. Sedangkan jenis yang memiliki nilai INP paling rendah yaitu jenis Sio dengan INP masing-masing 5,25.
Hasil perhitungan Indeks Keragaman, nilai terbesar untuk tingkat pohon ditemukan pada jenis A, G, O,Sio,T, V dan jenis Toho dengan nilai masing-masing 1,74. Sedangkan jenis pohon yang memiliki Indeks keragaman terendah yaitu Jambu-jambu dengan nilai 0,90.
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa komunitas tumbuhan tingkatan tiang pada lokasi praktikum, disusun disusun oleh jumlah spesies ( jenis ) yang relative banyak dengan kelimpahan pada setiap spesies, sama atau hampir sama. Hal ini karena tingkatan keanekaragaman jenis disuatu daerah tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi juga oleh banyaknya individu dari setiap jenis. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit species, dan jika hanya sedikit saja species yang dominan, maka keanekaragaman jenisnya rendah.
3. Tingkat Sapihan
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum ini menunjukkan total kerapatan tingkat sapihan sebesar 5166,67 indv/Ha, kerapatan tertinggi ditemukan pada jenis Eha yaitu 1333,33 indv/Ha, kemudian diikiuti oleh spesies jenis I dengan nilai kerapatannya 366,67 indv/Ha. Sedangkan kerapatan terendah diperlihatkan oleh jenis Toho, P dan jenis . Dengan tingkat kerapatan masing-masing 33,33 indv/ha atau masing-masing terdapat 11indv dalam setiap hektar.
Frekuensi tertinggi ditunjukkan oleh jenis I, H, Jambu-jambu, dan jenis X dengan nilai frekuensi 0,25%. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pada tingkatan tiang, jenis inilah yang penyebarannya paling luas pada lokasi penelitian, yang mempunyai tingkat kemunculan yang tinggi atau dutemukan pada sebagaian besar plot dari seluruh plot petak pengamatan. Jika factor lingkungan pada wilayah praktikum diketahui, maka dapat dikatan jenis jambu-jambu, I dan jenis H memiliki kisaran toleransi yang paling luas terhadap factor lingkungan di bandingkan spesies lainnya. Sedangkan frekuensi terendah ditunjukan oleh jenis Sio dengan nilai frekuensi 0,08 %.
Frekuensi tertinggi dalam kondisi ini memberikan gambaran bahwa pada tingkatan tiang, jenis inilah yang penyebarannya paling luas pada lokasi penelitian, yang mempunyai tingkat kemunculan yang tinggi atau dutemukan pada sebagaian besar plot dari seluruh plot petak pengamatan. Jika factor lingkungan pada wilayah penelitian diketahui, maka dapat dikatan jenis jambu-jambu, I, dan X memiliki kisaran toleransi yang paling luas terhadap factor lingkungan di bandingkan spesies lainnya.
Frekuensi relative merupakan propersi frekuensi sutu jenis tertentu terdapat frekuensi total semua jenis dalam persen. Untuk nilai frekuensi relative tertinggi ditemukan pada jenis jambu-jambu, I, dan H dengan nilai 8,33%. Nilai frekuansi relative terendah ditemukan pada Sio, Nona, C, D,M,K,O,P,R,Sio, Ruruhi, dan jenis Toho dengan nilai masing-masing 2,78%.
Parameter dominansi, jenis vegetasi yang memiliki dominansi tertinggi untuk tingkat pancang situnjukkan oleh jenis S dengan nilai 1658,70 m2/Ha. Sedangkan parameter dominasi terendah adalah jenis Nona, dengan nilai 35,75 m2/Ha. Dominansi menyatakan suatu jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi dan melaksanakan control terhadap komunitas dengan cara banyaknya jumlah jenis, besarnya ukuran maupun pertumbuhannya yang dominan. Suatu jenis tumbuhan yang mampu melaksanakan control atas aliran energy yang terdapat dalam komunitas dinamakan ekologi dominan. Parameter vegetasi dominan nilainya dapat diketahui dan nilai basal area dapat penutup ( Cover ).
Dominansi relative merupakan propersi dominansi suatu jenis tertentu terhadap dominansi total semua jenis dalam persen. Untuk nilai dominansi relative tertinggi ditemukan pada jenis jambu-jambu dengan nilai 24,13%. Hasil ini memberikan gambaran bahwa dari total ruang yang tertutupi oleh vegetasi sebesar 317.01 m2 dalam 1 hektarnya, 39.59 m2 ditutupi oleh jenis jambu-jambu. sedangkan nilai relative terendah ditemukann pada jenis jambu-jambu dan zyzigium dengan nilai 0,35 % atau dapat daikatakan hanya 0,0350 % saja yang ditutupi oleh jenis jambu-jambu dan zyzigium.
Hasil Perhitungan Indeks Nilai Penting, nilai terbesar untuk tingkatan sapihan ditemukan pada jenis X dengan nilai 25,96. Dari hasil ini dapat diperoleh gambaran bahwa secara umum species X merupakan spesies pada tingkat sapihan yang paling besar peranannya dalam komunitas tumbuhan pada lokasi studi. Sedangkan jenis vegetasi yang memiliki Indeks Nilai Penting terendah yaitu jenis Sio dengan INP masing-masing 3,81.
Nilai indeks keragaman tingkat sapihan juga mengindikasikan bahwa komunitas tumbuhan untuk kegiatan tiang pada wilayah studi relative kurang stabil atau species yang adadidalmnya mulai terganggu. Meskipun demikian tingkat keanekaragaman untuk jenis tiang ini masih lebih tinggi dari tingkatan pohon dan tiang. Jika dihubungkan dengan fenomena penebangan liar, hal ini diduga disebabkan karena target penebangan adalah jenis-jenis dengan diameter yang besar sehingga jenis-jenis yang mempunyai diameter lebih kecil pada tingkatan tiang dan pancang tidak ditebang. Seperti pada tingkatan tiang, kerusakan yang terjadi pada`tingkatan pancang, juga lebih banyak disebabkan karena tertimpa oleh jenis-jenis vegetasi pada tingkatan sapihan.
4. Tingkat semai
Kerapatan tertinggi pada tingkat semai ditemukan pada jenis Ruruhi yaitu 8958,33 indv/ha, kemudian diikuti oleh jenis II dengan nilai kerapatannya yaitu 2500,00 indv/ Ha. Kerapatan terendah ditentukan oleh jenis E, F, B, L, dan jenis IV, dengan nilai kerapatan masing-masing 208,33 indv/Ha. Nilai kerapatan dapat
menggambarkan bahwa jenis dengan nilai kerapatan tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar.
Kerapatan relative merupakan propersi kerapatan suatu jenis tertentu terhadap kerapatan total semua jenis dalam persen. Untuk nilai kerpatan relative tertinggi ditemukan pada jenis X dengan nilai 4,51%. Sedangkan nilai kerapatan relative terendah ditemukan pada jenis E, F, B, L, dan jenis IV dengan nilai masing-masing 0,75 %, atau dapat dikatakan setiap jenis diatas hanya terdapat kurang lebih 11 individu dalam setiap jenis hektar.
Ini juga memberikan gambaran bahwa banyaknya jumlah spesies tingkatan semai tersebut merupakan indicator tingkat kesuburan dan produktifitas tanah dalam mendukung proses regenerasi vegetasi pada lokasi penelitian. Para ahli berpendapat bahwa keberadaan vegetasi semai merupakan para meter penentu kestabilan ekosistem dalam mendukung keberlanjutan proses regenerasi.
Nilai frekuensi tertinggi vegetasi tingkat semai ditunjukkan oleh jenis N dengan nilai frekuensi 0,42%.sedangkan nilai frekuensi terendah ditumjukan oleh jenis C,F, L, Q, P, O,B, J, jenis III, IV, jambu-jambu, Pulai, dan jenis W dengan nilai kerapatan masing-masing 0,8%. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pada tingkatan semai, jenis inilah yang penyebarannya paling luas pada lokasi praktikum, yang mempunyai tingkat kemunculan yang tinggi atau ditemukan pada sebagian besar plot dari seluruh plot petak pengamtan. Ini juga mengindikasikan tingginya tingkat kemampuan hidup jenis tersebut dalam berbagai kondisi lingkungan yang berbeda baik itu sekitar sungai, punggung bukit, maupun diatas
bukit, terbukti dengan hasil yang menunjukkan bahwa jenis inilah yang mempunyai frekuensi kemunculan paling besar pada sebagian besar plot pengamatan.
Frekuensi relative merupakan propersi frekuensi suatu jenis tertentu terhadap frekuensi total semua jenis dalam persen. Untuk nilai frekuensi relative tertinggi ditemukan pada jenis N, dengan nilai 12,82%. sedangkan nilai frekuensi relative terendah ditemukan pada jenia C, F, B, J, O,P, Q, L, III. Jambu-jambu, pulai, IV dan W dengan masing-masing 2,56%.
INP tertinggi ditunjukan pada jenis Ruruhi dengan nilai 40,02. Sedangkan nilai terendah ditunjukan oleh jenis IV,L, B, dan F dengan nilai 3,32. Nilai penting suatu jenis memberikan gambaran besarnya sumberdaya lingkungan yang dimanfaatkan oleh jenis tersebut dalam pertumbuhannya. Semakin tinggi kemampuan suatu jenis dimanfaatkan sumberdaya lingkungannya selama pertumbuhannya dari tingkatan anakan sampai pohon, semakin dominan kehadirannya dimasa yang akan dating. Ini juga memberikan gambaran besarnya pengaruh penguasaan jenis Ruruhi dalam habitatnya khusunya untuk tingkat semai.
Indeks keragaman tingkat semai juga mengindikasikan bahwa komunitas tumbuhan untuk tingkatan semai pada wilah penelitian relative kurang stabil atau sspesies yang ada didalamnya mulai terganggu. Meskipun demikian tingkat keanekaragaman untuk jenis semai ini masi lebih tinggi dari tingkatan pohon , dan tiang. Pada tingkatan tiang dan sapihan , kerusakan yang terjadi pada tingkatan
semai, juga lebih banyak disebabkan karena tertimpa oleh jenis-jenis pohon yang ditebang, atau dapat pula disebabkan karena tidak mempunyai naungan yang cukup akibat telah terbukanya tajuk-tajuk pohon besar akibat penebangan, yang merupakanpelindung dari sinar matahari langsung. Karena hampir sebagian besar jenis-jenis vegetasi hutan pada face semai atau anakan membutuhkan naungan yang penuh.
Bedasarkan data maka dapat diketahui bahwa komunitas tumbuhan tingkat semai pada lokasi penelitian, disusun oleh jumlah spesies ( jenis ) yang relative banyak dengan kelimpahan pada setiap spesies, sama atau hampir sama, karena tigkat keanekaragaman jenis disuatu daerah tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi juga oleh banyaknya individu dari setiap jenis. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh banyaknya individu dari setiap jeni. Jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies, dan jika hanya sedikit saja spesies yang dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan, maka dapat disimpulkan bahwa spesies yang mendominasi kawasan hutan tersebut adalah jenis Jambu-jambu dengan nilai INP 24,13. Spesies yang mendominasi tingkat tiang yaitu jenis I dengan nilai INP 24, 58. Pada tingakat sapihan, spesies yang mendominasi hutan tersebut adalah jenis Eha (Castanopsis buruana) dengan nilai INP yaitu 31,75. Sedangakn pada tingkat semai yang mendominasinya yaitu jenis Ruruhi dengan nilai INP 40,02.
Bedasarkan data maka dapat diketahui pula bahwa, komunitas tumbuhan tingkat semai, sapihan, tiang dan pohon pada lokasi pengamatan, disusun oleh jumlah spesies ( jenis ) yang relative banyak dengan kelimpahan pada setiap spesies, sama atau hampir sama, karena tigkat keanekaragaman jenis disuatu daerah tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi juga ditentukan oleh banyaknya individu dan spesies dari setiap jenis. Jika komunitas itu disusun oleh banyaknya individu dari setiap jenis maka keanekaragaman jenisnya tinggi. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies, dan jika hanya sedikit saja spesies yang dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah.
B. Saran
Saran yang dapat saya ajukan yaitu kita harus menjaga kelestarian Hutan Kampus untuk kepentingan kita semua, baik untuk praktikum maupun tempat penelitian.