LAPORAN PRAKTIKUM
EKOLOGI HUTAN
( Analisis Komunitas Tumbuhan Dengan Menggunakan
Metode Petak Ganda )
OLEH :
LA Ode Zainal Abidin RZ
D1B5 05 076
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat dan petunjuk Allah SWT , Tuhan Semesta Alam, karena atas limpahan rahmat dan hidyah-Nya sehingga laporan lengkap “Praktikum Ekologi Hutan” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa laporan lengkap ini jauh dari kesempurnaan. Hal ini disebabkan keterbatasan penulis dalam mengkaji dan menelaah rujukan-rujukan yang menjadi acuan dalam menyusun laporan lengkap ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca demi kesempurnaan laporan lengkap ini.
Terima kasih yang teristimewa dan terutama sekali disampaikan kepada Ibunda, atas segala doa restunya demi keberhasilan penulis dalam menuntut ilmu. Semoga apa yang telah mereka korbankan selama ini menjadi mahkota keselamatan didunia dan di akhirat
Tak lupa pila penulis mengucapakn terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu dalam proses penyelesaian laporan ini. Akhir kata saya ucapkan, semoga laporan ini dapat bermanfaat dalam dunia pendidikan khususnya pada Jurusan Kehutanan. Amin.
Kendari, 2012
Penulis
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organism yang satu dengan dengan organism yang lain serta lingkungannya. Hubungan timbal balik sebagai interaksi antar organisme dengan lingkungannya sesungguhnya merupakan hubungan yang sangat erat dan kompleks, sehingga ekologi disebut juga sebagai biologi lingkungan. Lingkungan merupakan gabungan dari berbagai komponen fisik maupun hayati yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang ada didalamnya.
Sedangkan ekologi hutan adalah cabang dari ekologi yang khusus mempelajari ekosistem hutan. Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem karena hubungan antara masyarakat tetumbuhan pembentuk hutan dengan binatang liar dan alam lingkungannya sangat erat. Oleh karena itu hutan yang dipandang sebagai suatu ekosistem terbagi atas segi autekologi dan segi sinekologi. Dari segi autekologi, yang dipelajari dihutan adalah pengaruh sustu lingkungan terhadap hidup dan tumbuhnya suatu jenis pohon yang sifat kajiannya mendekati fisiologi tumbuhan, dan suatu jenis binatang liar atau margasatwa. Sedangkan dari segi sinekologi, yang dapat dipelajari yaitu berbagai kelompok jenis tumbuhan sebagai suatu komunitas, misalnya pengaruh keadaan tempat tumbuh terhadap komposisi dan struktur vegetasi, atau terhadap produksi hutan.
Hutan menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1990 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisis sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainya tidak dapat dipisahkan. Pohon adalah tumbuhan berkayu yang mempunyai tinggi diatas 5 meter dan berdiameter diatas 35 cm.
Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau kompisisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau duselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin di capai dalam analisis komunitas adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari.
Komunitas merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh, sekaligus sebagai sistem yang dinamis. Struktur komunitas hutan kampus UNHALU tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antar spesies tetapi juga dipengaruhi oleh jumlah individu dari setiap spesies organisme. Oleh karena itu, maka pentingnya kita melakukan praktek analisis komunitas tumbuhan untuk mengetahui hubungan antar spesies.
B. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum ekologi hutan adalah untuk mengetahui komposisi spesies dari struktur komunitas tumbuhan pada suatu kawasan hutan tertentu yang menjadi obyek pengamatan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan dan Fungsi Hutan
Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia karena dapat memberikan sumbangan hasil alam yang cukup besar bagi Negara. Hutan juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar hutan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidupnya baik berupa kayu, binatang liar, pangan, rumput, lateks, resin, maupun obat-obatan. Selain itu, hutan merupakan gudang plasma nutfah dari berbagai jenis tumbuhan dan fauna, sebagai sumber inspirasi, sarana untuk mengenal dan mengagumi keagungan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai temapt rekreasi (Indriyanto, 2006).
Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat komplek dengan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang tumbuh rapat, mulai dari yang kecil sampai yang berkuran raksasa. Termasuk didalamnya adalah lumut dan jamur yang kemudian mengadakan hubungan kehidupan yang sangat menunjang, terutama pada hutan hujan yang berisi struktur aneka lingkungan hidup. Diantara hutan yang kelembabannya tinggi dan gelap, akan ditemui sedikit kehidupan tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan yang memerlukan sinar matahari tidak akan mampu hidup pada daerah tersebut (Arif, 1994).
Hutan merupakan pengatur tata air, karena daun-daun yang lebat menyebabkan air hujan yang jatuh dengan derasnya tidak langsung mengena tanah, sehingga tidak terjadi perlumpuran yang bias mengakibatkan erosi atau
tanah longsor. Perakaran dari pohon-pohon menyerap dan menahan air hujan, sehingga berkesempatan masuk dalam tanah sampai lapisan tanah kedap air dan muncul disuatu temapat sebagai mata air atau sumber air (Dwidjoseputro, 1990).
Hutan sebagai suatu ekosistem adalah merupakan hasil dari interaksi faktor-faktor biotik dan abiotik. Di dalamnya terdapat suatu persaingan antara individu-individu dari suatu species atau dari berbagai species jika mempunyai kebutuhan yanag sama. Persaingan ini membentuk masyarakat tumbuhan tertentu, macam dan banyaknya jenis sertajumlah individu-individu dengan keadaan tempat tumbuhnya (Ruslan, 1986).
Hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan diluar hutan (Soerianegara dan Indrawan, 1982).
B. Komunitas, Struktur dan Komposisi Vegetasi
Homogent tidaknya suatu komunitas tumbuhan dapat ditentukan dengan menggunakan “Hukum Frekuensi” (Laws of Frequency). Frekuensi dapat menunjukkan homogenitas dan penyebaran dari individu-individu spesies dalam komunitas. Untuk mengetahui homogenitas suatu komunitas, nilai frekuensi tiap spesies dikelompokkan ke dalam lima kelas (Raunkiaer, 1934 dalam Gopal dan Bhardwaj, 1979)
Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kuantitatif dan kualitatif . dengan demikian, dalam deskripsi struktur komunitas tumbuhan dapat dilakukan secara kualitatif dengan parameter kualitatif atau secara kuantitatif dengan parameter kuantitatif (Indriyanto, 2006).
Kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara,1998).
Keragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Keanekaragaman spesies juga dapat digunakan utnuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada ganguan terhadap komponen-komponennya (Soegianto, 1994).
Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan di dalam suatu ruang. Komunitas tumbuhan terdiri dari sekelompok tumbuh-tumbuhan yang masing-masing individu mempertahankan sifatnya (Danserau- Dombois,1974).
C. Parameter Kualitatif dalam Komunitas Tumbuhan
Untuk keperluan deskripsi vegetasi tersebut ada tiga macam parameter kuantitatif yang penting, antara lain: densitas, frekuensi dan kelindungan. Kelindungan yang dimaksud sebenarnya sebagai bagian dari parameter Dominasi (Kusmana, 1997).
Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan diperlukan parameter kualitatif, hal ini sesuai dengan sifat komunitas tumbuhan itu sendiri bahwa dia memiliki sifat kualitatif dan kuantitatif. Beberapa parameter kualitatif komunitas
tumbuhan antara lain, fisiognomi, fenologi, stratifikasi, kelimpahan, penyebaran, daya hidup, bentuk pertumbuhan, dan periodifitas (Indriyanto, 2006).
Meskipun demikian, masih banyak parameter kuantitatif yang dapat digunakan untuk mendeskripsi komunitas tetumbuhan, baik dari segi struktur komunitas maupun tingkat kesamaannya dengan komunitas lainnya. Parametr yang dimaksud utnuk kepentingan tersebut adalah indeks keanekaragaman spesies dan indeks kesamaan komunitas (Soegianto, 1994).
Komunias komunitas tanaman digunakan sebagai model organisassi komunitas. Banyak ekolog membuktikan bahwa pada bbeberapa keadaan, vegetasi membuntuk continuum, pada keadaan yang lain vegetasi membentuk komunitas yang berbeda dan sebagian besar vegetasi berada dimana mana diantara kondisi tersebut (Dwidjoseputro, 1990).
Penyebaran adalah parameter kualitatif yang menggambarkan keberadaan spesies organisme pada ruang secara horizontal. Penyebaran tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu random, seragam, dan berkelompok (Indriyanto, 2006).
D. Analisis Vegetasi
Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau kompisisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau duselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin di capai dalam analisis komunitas
adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari ( Indriyanto, 2006).
Hasil analisis komunitas tumbuhan disajikan secara deskripsi mengenai komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu komunitas tidak hanya dipengaruhi oelh hubungan antara spesies, tetapi juga oleh jumlah individu dari setiap spesies organisme (Soegianto, 1994)
Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif dan kuantitatif (Gopal dan Bhardwaj, 1979). Dengan demikian, dalam deskripsi struktur komunitas tumbuhan dapat dilakukan secara kualitatif dengan parameter kualitataif atau secara kuantitatif dengan parameter kuantitatif.
Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk suatu kondisi hutan yang luas, maka kegiatan analisa vegetasi erat kaitannya dengan sampling, artinya kita cukup menempatkan beberapa petak contoh untuk mewakili habitat tersebut (Dwidjoseputro, 1990).
E. Metode Pengambilan Contoh dalam Komunitas Tumbuhan
Analisis vegetasi ditujukan untuk mempelajari tingkat suksesi, evaluasi hasil pengendalian gulma, perubahan flora (shifting) sebagai akibat metode pengendalian tertentu dan evaluasi herbisida (trial) untuk menentukan aktivitas suatu herbisida terhadap jenis gulma di lapangan.Konsep dan metode analisis vegetasi sangat bervariasi tergantung keadaan vegetasi dan tujuan analisis (Sastroutomo, 1990).
Pengambilan contoh untuk analisis komunitas tumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan metode petak (plot), metode jalur, ataupun metode kuadran. Metode petak merupakan prosedur yang paling umum digunakan untuk pengambilan contoh berbagai tipe organisme termasuk komunitas tumbuhan. Petak yang digunakan dapat berbentuk segi empat, persegi, atau lingkaran (Indruyanto, 2006).
Jumlah jalur contoh disesuaikan dengan intensitas samplignya. Jalur contoh yang berukuran lebar 20 m dapat dibuat dengan intensitas sampling 2% - 10 % (Soerianegara dan Indrawan, 1982).
Metode kuadran umumnya dipergunakan untuk pengambilan contoh vegetasi tumbuhan jika hanya vegetasi fase pohon yang menjadi objek kajiannya. Metode itu mudah dikerjakan, dan lebih cepat jika akan dipergunakan untuk mengetahui komposisi jenis, tingkat dominasi, dan menaksir volume pohon. Syarat penerapan metode kuadran adalah distribusi pohon yang akan diteliti harus acak. Dengan kata lain, bahwa metode ini kurang tepat dipergunakan jika populasi pohon berdistribusi mengelompok ataupun seragam (Soegianto, 1994).
Metode kuadran atau metode titik pusat kuadran merupakan metode sampling tanpa petak contoh yang dapat dilakukan secara efisien karena dalam pelaksanaannya di lapangan tidak memerlukan waktu lama dan mudah dikerjakan (Kusmana, 1997).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan Pada Hari Sabtu 30 Juni 2012 Pukul 08.00 sampai selesai, bertempat Hutan Lindung Nanga-Nanga.
B. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan pada praktikum Analisis Komunitas Tumbuhan yaitu tali rafia sepanjang 20 m, meteran kain, kamera digital, parang, alat tulis menulis dan hagameter.
C. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Membuat plot sebagai batasan luas-luas unit pengamatan sebanyak empat plot dengan ukuran masing-masing 20 x 20 meter, 10 x 10 meter, 5 x 5 meter, dan 2 x 2 meter.
2. Mengamati dan mecatat jenis-jenis pohon yang ditemukan pada plot dengan ukuran 20 x 20 meter pada tally sheet.
3. Mengamati dan mencatat jenis-jenis tiang yang ditemukan pada plot dengan ukuran 10 x 10 meter pada tally sheet.
4. Mengamati dan mencatat jenis-jenis pancang (sapihan) yang ditemukan pada plot dengan ukuran 5 x 5 meter pada tally sheet.
5. Mengamati dan mencatat jenis-jenis semai yang ditemukan pada plot dengan ukuran 2 x 2 meter pada tally sheet.
6. Mendokumentasikan semua jenis yang diidentifikasi.
7. Menghitung nilai density/kerapatan (D), dan relative density (RD), Frekuensi (F), dan relative Frekuensi (FR), cover/tutupan (C), dan cover/tutupan relative (C/CR), indeks nilai penting (INP), dan summe dominance ratio (SDR), berdasarkan rumus masing-masing parameter tersebut.
B. Pembahasan
1. Tingkat pohon
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap data yang telah dikumpulkan di lokasi praktikum, maka diperoleh hasil analisis kuantitatif pada tingkatan pohon yang menunjukkan bahwa kerapatan tertinggi detemukan pada jenis Eha ( Castanopsisi buruana ) yaitu 16,67 indv/ Ha, kemudian diikuti oleh Pulai (Alstonia scholaris), jenis I dan jenis H dengan kerapatan masing-masing 12,50 indv/Ha. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis-jenis inilah yang banyak ditemukan di lokasi penelitian, meskipun belum dapat memberikan informasi yang tepat mengenai tingkat penyebaran dari jenis-jenis tersebut. Hasil ini juga menunjukkan bahwa dari 14 spesies pohon yang ditemukan dilokasi penelitian, jenis Eha ( Castanopsis buruana ) merupakan spesies yang mempunyai jumlah individu terbanyak diantara spesies-spesies yang lain, atau dapat pula dikatakan jenis tersebut memiliki pola penyesuaian yang besar serta merupakan penciri umum komunitas tumbuhan pada lokasi studi, khususnya untuk tingkatan pohon. Nilai kerapatan ini dapat menggambarkan bahwa jenis dengan nilai kerapatan tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar.
Kerapatan terendah ditemukan pada jenis Toho, Sio, jenis B, jenis X dan Syzigium dengan tingkatan kerapatan 2,08 indv/Ha atau masing-masing 1 indv/Ha. Dari gambaran diatas dapat diperoleh gambaran bahwa jenis-jenis tersebut memiliki kemampuan yang rendah dalam proses persaingan didalam m,asyarakat hutan, baik itu terjadi persaingan antara individu dari satu jenis atau
dari berbagai jenis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam hal cahaya, ruang tumbuh, oleh tajuk-tajuk diatas lantai hutan, hara mineral, air tanah oleh akar dibawah lantai hutan.Kerapatan total tingkatan pohon, diperoleh nilai 102,08 indv/Ha. Ini mengindikasikan banyaknya jumlah individu vegetasi tingkat pohon yang ditemukan pada lokasi praktikum.
Frekuensi tertinggi ditunjukkan oleh jenis Eha dengan nilai frekuensi 0.42 Kondisi ini memberikan gambaran pada tingkatan pohon, jenis tersebut mampu menyebar 42%/per hektar kawasan atau dapat pula disimpulkan bahwa, jenis inilan yang penyebarannya paling luas pada lokasi pengamatan dengan tingkat kemunculan yang tinggi atau ditemukan pada 5 plot pengamatan dari total 13 plot yang terbuat dalam praktikum ini. Semakin banyak petak contoh suatu spesies yang ditemukan, semakin besar frekuensi spesies tersebut. Sebaliknya, jika makin sedikit petak contoh yang didalamnya ditemukan suatu species, makin kecil frekuensi species tersebut.
Frekuensi relative merupakan propersi frekuensi suatu jenis tertentu terhadap frekuensi total semua jenis dalam persen. Untuk nilaai frekuensi relatif tertinggi ditemukan pada jenis Eha ( Castanopsisi buruana ), dengan nilai 17,22%. Sedangkan nilai frekuensi relatif terendah ditemukan pada jenis B, O, jenis P, syzigium, Sio, Toho, dan Jenis X dengan nilai 3,44%. Spesies dengan frekuensi rendah mempunyai jumlah individu yang lebih sedikit dari spesies dengan frekuensi tertinggi “ maka dapat dijelaskan bahwa spesies-spesies yang menyusun komunitas tumbuhan tingkatan pohon di lokasi praktikum terdistribusi normal.
Untuk para meter dominansi, jenis pohon yang memiliki nilai tertinggi ditunjukkan oleh jenis Jambu-jambuan 5374,20 m2 /Ha yang mengindikasikan bahwa jenis ini menempati ruang tumbuh yang paling besar pada lokasi pengamatan, meskipun tingkat penyebarannya tidak sebesar jenis Eha.
Dominansi relative merupakan propersi dominansi suatu jenis tertentu terhadap dominansi total semua jenis dalam persen. Untuk nilai dominansi relative tertinggi ditemukan pada jenis Jambu-jambuan dengan nilai 24,132%. Sedangkan nilai dominnasi relataif terendan ditemukan pada jenis B dengan nilai 1,94%.
Hasil Perhitungan Indeks Nilai Penting, nilai terbesar untuk tingkatan pohon ditemukan pada jenis Jambu-jambu yakni 24,13%. Meskipun penyebarannya tidak terlalu luas namun jenis ini mempunyai nilai kerapatan dan dominansi yang paling tinggi sehingga menghasilkan nilai penting yang tinggi dari jenis lain. Sedangkan jenis pohon yang memiliki Indeks Nilai Penting terendah ayaitu jrnis B, dengan nilai 1,94%.
Hasil perhitungan Indeks Keragaman, nilai terbesar untuk tingkat pohon ditemukan pada jenis B, Syzigium, Sio, Toho, dan jenis X dengan nilai masing-masing 1,69. Sedangkan jenis pohon yang memiliki Indeks keragaman terendah yaitu Eha dengan nilai 0,79.
2. Tingkat tiang
Pada tingkat tiang, kerapatan tertinggi ditemukan pada jenis I yaitu 50,00 indv/Ha, kemudian diikuti oleh jenis K dan N, dengan kerapatan masing-masing 25,00 indv/Ha. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis-jenis inilah yang banyak ditemukan dilokasi studi, meskipun belum dapat memberikan informasi yang tepat mengenai tingkat penyebaran dari jenis-jenis tersebut. Kerapatan terendah diperlihatkan oleh jenis A, G, O, jenis sio, jenis T, V, dan jenis Toho dengan tingkat kerapatan masing-masing 8,33 indv/Ha atau masing-masing 1 indv/Ha.
Kerapatan relative merupakan proporsi kerapatan suatu jenis tertentu terhadap kerapatan total kesemua jenis dalam persen. Untuk nilai kerpatan relative tertinggi ditemukan pada jenis Jambu-jambu, dengan nilai 58,33%. Sedangkan nilai kerapatan relative terendah ditemukan pada jenis A, G, O, sio, T,Vdan jenis Toho dengan tingkat kerapatan relative 1,82% atau dapat dikatakan setiap jenis diatas hanya terdapat kurang lebih 1 individu dalam setiap jenis hektar.
Frekuensi tertinggi ditunjukan oleh jenis H, dengan nilai frekuensi 0.33. kondisi ini memberikan gambaran bahwa pada tingkatan tiang, jenis tersebut mampu menyeber 50% per hektar kawasan atau dapat pula disimpulkan bahwa, jenis jenis inilah penyebarannya paling luas pad lokasi stusdi, yang mempunyai tingkat kemunculan yang tinggi atua ditemukan dalam 4 plot pengamatan dari total 13 plot yang dibuat dalam penelitian ini. Frekuensi terendah diperlihatkan oleh jenis A, Ruruhi, G,Eha, B, J, M dan jenis O dengan frekuensi masing-masing 0.08atau hanya ditemukan pada satu buah petak contoh dari 13 plot yang diamati. ini mengindikasikan bahwajenis-jenis tersebut merupakan spesies yang
penyebarannya terbatas, yang juga berarti mempunyai kemampuan adaptasi yang rendah terhadap kondisi lingkungan pada lokasi pengamatan.
. Frekunsi relative merupkan proporsi frekuensi suatu jenis tertentu terhadap frekuensi total semua jenis dalam persen. Untuk nilai frekuensi relative tertinggi ditemukan pada jenis H, dengan nilai 11,78% . Sedangkan nilai ralatif frekunsi terendah ditemukan pada jenis A, Ruruhi, G, Eha, B, J, M dan jenis O dengan masing-masing 2,94 %. Hukum frekuensi menyatakan bahwa “’ spesies dengan frekuensi rendah mempunyai jumlah individu yang lebih banyak dari spesies dngan frekuensi tinggi “.
Parameter dominansi, jenis vegetasi yang memiliki dominansi tertinggi untuk tingkat Tiang ditujukan oleh jenis V dengan nilai 2007,03 m2/Ha. Ini memberikan gambaran bahwa jenis ini menempati ruang tumbuh yang paling brsar pada lokasi studi. Besarnya penguasaan terhadap ruang tumbuh disebabkan oleh besarnya nilai LBDS jenis tersebut, yang mengindikasikan bahwa jenis tersebut tumbuh dengan baik pada lingkungan dimana dia berada sehingga mampu mendominasi ruang tumbuh. Parameter dominasi terendah untuk tingkat tiang ditunjukan oleh jenis syzigium dan jambu-jambu dengan nilai masing-masing 80,28 m2/Ha.
Dominansi relative merupakan propersi dominansi suatu jenis tertentu terhadap dominansi total semua jenis dalam persen. Untuk nilai dominansi relative tertinggi ditemukan pada jenis V dengan nilai 8,71%. Sedangkan nilai relative terendah ditemukan pada jenis syzigium dan jambu-jambuyakni 0,35 % , atau
dapat dikatakan hanya 0.35% saja yang ditutupi oleh jenis syzigium dan jambu-jambu dari keseluruhan luas total penutupan seluruh vegetasi pada lokasi studi.
Hasil perhitungan nilai indeks penting, nilai tebesar untuk tingkatan tiang ditemukan pada jenis I dengan nilai 24,5. dari hasil ini maka dapat diperoleh gambaran bahwa secara umum species I merupakan species pada tingkat tiang yang paling besar perananya dalam komunitas tumbuhan pada lokasi studi. Sedangkan jenis yang memiliki nilai INP paling rendah yaitu jenis Sio dengan INP masing-masing 5,25.
Hasil perhitungan Indeks Keragaman, nilai terbesar untuk tingkat pohon ditemukan pada jenis A, G, O,Sio,T, V dan jenis Toho dengan nilai masing-masing 1,74. Sedangkan jenis pohon yang memiliki Indeks keragaman terendah yaitu Jambu-jambu dengan nilai 0,90.
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa komunitas tumbuhan tingkatan tiang pada lokasi praktikum, disusun disusun oleh jumlah spesies ( jenis ) yang relative banyak dengan kelimpahan pada setiap spesies, sama atau hampir sama. Hal ini karena tingkatan keanekaragaman jenis disuatu daerah tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi juga oleh banyaknya individu dari setiap jenis. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit species, dan jika hanya sedikit saja species yang dominan, maka keanekaragaman jenisnya rendah.
3. Tingkat Sapihan
Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum ini menunjukkan total kerapatan tingkat sapihan sebesar 5166,67 indv/Ha, kerapatan tertinggi ditemukan pada jenis Eha yaitu 1333,33 indv/Ha, kemudian diikiuti oleh spesies jenis I dengan nilai kerapatannya 366,67 indv/Ha. Sedangkan kerapatan terendah diperlihatkan oleh jenis Toho, P dan jenis . Dengan tingkat kerapatan masing-masing 33,33 indv/ha atau masing-masing terdapat 11indv dalam setiap hektar.
Frekuensi tertinggi ditunjukkan oleh jenis I, H, Jambu-jambu, dan jenis X dengan nilai frekuensi 0,25%. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pada tingkatan tiang, jenis inilah yang penyebarannya paling luas pada lokasi penelitian, yang mempunyai tingkat kemunculan yang tinggi atau dutemukan pada sebagaian besar plot dari seluruh plot petak pengamatan. Jika factor lingkungan pada wilayah praktikum diketahui, maka dapat dikatan jenis jambu-jambu, I dan jenis H memiliki kisaran toleransi yang paling luas terhadap factor lingkungan di bandingkan spesies lainnya. Sedangkan frekuensi terendah ditunjukan oleh jenis Sio dengan nilai frekuensi 0,08 %.
Frekuensi tertinggi dalam kondisi ini memberikan gambaran bahwa pada tingkatan tiang, jenis inilah yang penyebarannya paling luas pada lokasi penelitian, yang mempunyai tingkat kemunculan yang tinggi atau dutemukan pada sebagaian besar plot dari seluruh plot petak pengamatan. Jika factor lingkungan pada wilayah penelitian diketahui, maka dapat dikatan jenis jambu-jambu, I, dan X memiliki kisaran toleransi yang paling luas terhadap factor lingkungan di bandingkan spesies lainnya.
Frekuensi relative merupakan propersi frekuensi sutu jenis tertentu terdapat frekuensi total semua jenis dalam persen. Untuk nilai frekuensi relative tertinggi ditemukan pada jenis jambu-jambu, I, dan H dengan nilai 8,33%. Nilai frekuansi relative terendah ditemukan pada Sio, Nona, C, D,M,K,O,P,R,Sio, Ruruhi, dan jenis Toho dengan nilai masing-masing 2,78%.
Parameter dominansi, jenis vegetasi yang memiliki dominansi tertinggi untuk tingkat pancang situnjukkan oleh jenis S dengan nilai 1658,70 m2/Ha. Sedangkan parameter dominasi terendah adalah jenis Nona, dengan nilai 35,75 m2/Ha. Dominansi menyatakan suatu jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi dan melaksanakan control terhadap komunitas dengan cara banyaknya jumlah jenis, besarnya ukuran maupun pertumbuhannya yang dominan. Suatu jenis tumbuhan yang mampu melaksanakan control atas aliran energy yang terdapat dalam komunitas dinamakan ekologi dominan. Parameter vegetasi dominan nilainya dapat diketahui dan nilai basal area dapat penutup ( Cover ).
Dominansi relative merupakan propersi dominansi suatu jenis tertentu terhadap dominansi total semua jenis dalam persen. Untuk nilai dominansi relative tertinggi ditemukan pada jenis jambu-jambu dengan nilai 24,13%. Hasil ini memberikan gambaran bahwa dari total ruang yang tertutupi oleh vegetasi sebesar 317.01 m2 dalam 1 hektarnya, 39.59 m2 ditutupi oleh jenis jambu-jambu. sedangkan nilai relative terendah ditemukann pada jenis jambu-jambu dan zyzigium dengan nilai 0,35 % atau dapat daikatakan hanya 0,0350 % saja yang ditutupi oleh jenis jambu-jambu dan zyzigium.
Hasil Perhitungan Indeks Nilai Penting, nilai terbesar untuk tingkatan sapihan ditemukan pada jenis X dengan nilai 25,96. Dari hasil ini dapat diperoleh gambaran bahwa secara umum species X merupakan spesies pada tingkat sapihan yang paling besar peranannya dalam komunitas tumbuhan pada lokasi studi. Sedangkan jenis vegetasi yang memiliki Indeks Nilai Penting terendah yaitu jenis Sio dengan INP masing-masing 3,81.
Nilai indeks keragaman tingkat sapihan juga mengindikasikan bahwa komunitas tumbuhan untuk kegiatan tiang pada wilayah studi relative kurang stabil atau species yang adadidalmnya mulai terganggu. Meskipun demikian tingkat keanekaragaman untuk jenis tiang ini masih lebih tinggi dari tingkatan pohon dan tiang. Jika dihubungkan dengan fenomena penebangan liar, hal ini diduga disebabkan karena target penebangan adalah jenis-jenis dengan diameter yang besar sehingga jenis-jenis yang mempunyai diameter lebih kecil pada tingkatan tiang dan pancang tidak ditebang. Seperti pada tingkatan tiang, kerusakan yang terjadi pada`tingkatan pancang, juga lebih banyak disebabkan karena tertimpa oleh jenis-jenis vegetasi pada tingkatan sapihan.
4. Tingkat semai
Kerapatan tertinggi pada tingkat semai ditemukan pada jenis Ruruhi yaitu 8958,33 indv/ha, kemudian diikuti oleh jenis II dengan nilai kerapatannya yaitu 2500,00 indv/ Ha. Kerapatan terendah ditentukan oleh jenis E, F, B, L, dan jenis IV, dengan nilai kerapatan masing-masing 208,33 indv/Ha. Nilai kerapatan dapat
menggambarkan bahwa jenis dengan nilai kerapatan tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar.
Kerapatan relative merupakan propersi kerapatan suatu jenis tertentu terhadap kerapatan total semua jenis dalam persen. Untuk nilai kerpatan relative tertinggi ditemukan pada jenis X dengan nilai 4,51%. Sedangkan nilai kerapatan relative terendah ditemukan pada jenis E, F, B, L, dan jenis IV dengan nilai masing-masing 0,75 %, atau dapat dikatakan setiap jenis diatas hanya terdapat kurang lebih 11 individu dalam setiap jenis hektar.
Ini juga memberikan gambaran bahwa banyaknya jumlah spesies tingkatan semai tersebut merupakan indicator tingkat kesuburan dan produktifitas tanah dalam mendukung proses regenerasi vegetasi pada lokasi penelitian. Para ahli berpendapat bahwa keberadaan vegetasi semai merupakan para meter penentu kestabilan ekosistem dalam mendukung keberlanjutan proses regenerasi.
Nilai frekuensi tertinggi vegetasi tingkat semai ditunjukkan oleh jenis N dengan nilai frekuensi 0,42%.sedangkan nilai frekuensi terendah ditumjukan oleh jenis C,F, L, Q, P, O,B, J, jenis III, IV, jambu-jambu, Pulai, dan jenis W dengan nilai kerapatan masing-masing 0,8%. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pada tingkatan semai, jenis inilah yang penyebarannya paling luas pada lokasi praktikum, yang mempunyai tingkat kemunculan yang tinggi atau ditemukan pada sebagian besar plot dari seluruh plot petak pengamtan. Ini juga mengindikasikan tingginya tingkat kemampuan hidup jenis tersebut dalam berbagai kondisi lingkungan yang berbeda baik itu sekitar sungai, punggung bukit, maupun diatas
bukit, terbukti dengan hasil yang menunjukkan bahwa jenis inilah yang mempunyai frekuensi kemunculan paling besar pada sebagian besar plot pengamatan.
Frekuensi relative merupakan propersi frekuensi suatu jenis tertentu terhadap frekuensi total semua jenis dalam persen. Untuk nilai frekuensi relative tertinggi ditemukan pada jenis N, dengan nilai 12,82%. sedangkan nilai frekuensi relative terendah ditemukan pada jenia C, F, B, J, O,P, Q, L, III. Jambu-jambu, pulai, IV dan W dengan masing-masing 2,56%.
INP tertinggi ditunjukan pada jenis Ruruhi dengan nilai 40,02. Sedangkan nilai terendah ditunjukan oleh jenis IV,L, B, dan F dengan nilai 3,32. Nilai penting suatu jenis memberikan gambaran besarnya sumberdaya lingkungan yang dimanfaatkan oleh jenis tersebut dalam pertumbuhannya. Semakin tinggi kemampuan suatu jenis dimanfaatkan sumberdaya lingkungannya selama pertumbuhannya dari tingkatan anakan sampai pohon, semakin dominan kehadirannya dimasa yang akan dating. Ini juga memberikan gambaran besarnya pengaruh penguasaan jenis Ruruhi dalam habitatnya khusunya untuk tingkat semai.
Indeks keragaman tingkat semai juga mengindikasikan bahwa komunitas tumbuhan untuk tingkatan semai pada wilah penelitian relative kurang stabil atau sspesies yang ada didalamnya mulai terganggu. Meskipun demikian tingkat keanekaragaman untuk jenis semai ini masi lebih tinggi dari tingkatan pohon , dan tiang. Pada tingkatan tiang dan sapihan , kerusakan yang terjadi pada tingkatan
semai, juga lebih banyak disebabkan karena tertimpa oleh jenis-jenis pohon yang ditebang, atau dapat pula disebabkan karena tidak mempunyai naungan yang cukup akibat telah terbukanya tajuk-tajuk pohon besar akibat penebangan, yang merupakanpelindung dari sinar matahari langsung. Karena hampir sebagian besar jenis-jenis vegetasi hutan pada face semai atau anakan membutuhkan naungan yang penuh.
Bedasarkan data maka dapat diketahui bahwa komunitas tumbuhan tingkat semai pada lokasi penelitian, disusun oleh jumlah spesies ( jenis ) yang relative banyak dengan kelimpahan pada setiap spesies, sama atau hampir sama, karena tigkat keanekaragaman jenis disuatu daerah tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi juga oleh banyaknya individu dari setiap jenis. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh banyaknya individu dari setiap jeni. Jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies, dan jika hanya sedikit saja spesies yang dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan, maka dapat disimpulkan bahwa spesies yang mendominasi kawasan hutan tersebut adalah jenis Jambu-jambu dengan nilai INP 24,13. Spesies yang mendominasi tingkat tiang yaitu jenis I dengan nilai INP 24, 58. Pada tingakat sapihan, spesies yang mendominasi hutan tersebut adalah jenis Eha (Castanopsis buruana) dengan nilai INP yaitu 31,75. Sedangakn pada tingkat semai yang mendominasinya yaitu jenis Ruruhi dengan nilai INP 40,02.
Bedasarkan data maka dapat diketahui pula bahwa, komunitas tumbuhan tingkat semai, sapihan, tiang dan pohon pada lokasi pengamatan, disusun oleh jumlah spesies ( jenis ) yang relative banyak dengan kelimpahan pada setiap spesies, sama atau hampir sama, karena tigkat keanekaragaman jenis disuatu daerah tidak hanya ditentukan oleh banyaknya jenis, tetapi juga ditentukan oleh banyaknya individu dan spesies dari setiap jenis. Jika komunitas itu disusun oleh banyaknya individu dari setiap jenis maka keanekaragaman jenisnya tinggi. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit spesies, dan jika hanya sedikit saja spesies yang dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah.
B. Saran
Saran yang dapat saya ajukan yaitu kita harus menjaga kelestarian Hutan Kampus untuk kepentingan kita semua, baik untuk praktikum maupun tempat penelitian.