Jumat, 01 Mei 2015

MAKALAH SOSIOLOGI KEHUTANAN
HAK MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN DAN SUMBER DAYA HUTAN

Oleh :

LA ODE ZAINAL ABIDIN RZ
D1 B5 05 076

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.000-an pulau, Indonesia juga dikenal sebagai negara "mega-biodiversity" dengan 47 tipe ekosistem utama dan juga dikenal sebagai negara "mega cultural diversity" yang memiliki lebih dari 250 kelompok etnis dengan lebih dari 500 bahasa yang berbeda.
Keberadaan keanekaragaman hayati dan budaya ini bertumpu pada keberadaan masyarakat adat yang hidup dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. AMAN memperkirakan bahwa dari sekitar 210 juta penduduk Indonesia, antara 50 sampai 70 juta diantaranya adalah masyarakat adat, yaitu "penduduk yang hidup dalam satuan-satuan komunitas berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya" (KMAN 1999).
Pengelolaan hutan di Indonesia sampai saat ini belum menunjukan kejelasan tentang hak kepemilikan (property right) atas lahan hutan. Hal ini telah menimbulkan implikasi yang kompleks. Di berbagai tempat terjadi persoalan saling klaim terhadap lahan hutan yang sama; konflik vertikal antara masyarakat dengan perusahaan HPH/IUPHHK, bahkan konflik horisontal antar masyarakat pun dapat dipicu oleh persoalan hak-hak atas hutan.
Diberbagai tempat di Indonesia berlaku hukum adat, antara lain tentang pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnya, penggembalaan
ternak, pemburuan satwa liar dan pemungutan hasil hutan, serta diberbagai areal hutan dikelola secara lestari oleh masyarakat hukum adat sebagai sumber kehidupannya dengan segala kearifannya. Praktek tersebut menunjukan bahwa masyarakat adat telah dan mampu mengelola sumber daya alam termasuk hutannya secara turun-temurun. Pola-pola ini diketahui memiliki sistem yang sangat terkait dengan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman, kebun dan usaha pertanian sehingga bentuknya sangat beragam, dinamis, terpadu yang menghasilkan berbagai manfaat bagi masyarakat dan lingkungan, baik secara ekonomi, sosial budaya, religi, dan ekologi (Suhardjito, Khan, Djatmiko dkk).
B. Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu :
1. Mengetahui peranan masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan dan SDH serta Mengetahui Keberadaan wilayah masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia.
2. Mempelajari beberapa studi kasus yang terjadi antar masyarakat adat terhadap kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan dan sumber daya hutan.
3. Makalah ini mencoba untuk mengkaji karakteristik dari perundang-undangan yang digunakan sebagai instrumen hukum terhadap peranan masyarakat adat dalam pengelolaan SDH.

II. PEMBAHASAN
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 37 ayat 5 bahwa pemanfaatan hutan adat adalah segala bentuk usaha yang menggunakan hutan adat untuk dimanfaatkan secara optimal. Hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. UU No. 41/99 menggambarkan masih kuatnya keinginan pemerintah dalam hal ini Dephutbun untuk tetap mempertahankan kontrol dan penguasaan terhadap kawasan hutan dan sumberdaya hutan, sekalipun kontrol dan penguasaan tersebut selama ini telah mengakibatkan menurunnya kuantitas dan kualitas hutan serta terjadinya konflik-konflik di lapangan antara pemerintah maupun pengusaha di satu pihak dengan rakyat di pihak yang lainnya.
Sedangkan Masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi politik, budaya dan sosial yang khas. Dalam teori ekologi-manusia, hubungan manusia dengan lingkungannya (sumber daya alamnya) dijelaskan oleh Merchant (1996) sebagai suatu hubungan yang terbagi atas tiga paradigma yang mempunyai dasar pemikiran yang berbeda-beda.
Masyarakat adat merupakan suatu kesatuan masyarakat adat yang bersifat otonom dimana mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik, ekonomi dsb) dan selain itu bersifat otohton yaitu suatu kesatuan masyarakat adat yang lahir/dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan dibentuk oleh kekuatan lain misal kesatuan desa dengan LKMDnya. Kehidupan komunitas-komunitas masyarakat adat kini tidak sepenuhnya otonom dan terlepas dari proses pengintegrasian ke dalam kesatuan organisasi kehidupan negara bangsa yang berskala besar dan berformat nasional (Wignyosoebroto, 1999).
Hutan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni di antara kedua komponen ekosistem tersebut. Hukum adat dan sistem kepercayaan asli tentang hutan merupakan pranata sosial yang paling penting bagi masyarakat untuk mengamankan sumberdaya di dalam kawasan hutan adat dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh pihak-pihak dari luar.
Pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan ini, lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan secara sistematis oleh Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa, sengaja dihancurkan. Sampai awal dekade 1970-an, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar Jawa. Masyarakat adat, yang pada waktu itu belum banyak diintervensi
oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatera Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak jaman Kolonial Belanda. Perubahan yang sangat drastis baru mulai terjadi di awal 1970-an ketika Rejim Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi HPH.
Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Pelaksanaan sistem konsesi HPH ini merupakan tindakan perampasan terhadap hak-hak masyarakat adat atas hutan yang berada di wilayah adatnya. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong atau lahan pertanian. Dengan kondisi yang demikian bisa dipastikan bahwa penebangan kayu secara besar-besaran telah merusak hutan adat sebagai jantung kehidupan sebagian besar masyarakat adat penghuni hutan di nusantara. Hasil pemetaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia (1999) menunjukkan bahwa laju deforestasi selama periode 1986 - 1997 sekitar 1,7 juta hektar per tahun. Selama periode itu kerusakan hutan paling parah terjadi di Sumatera dengan kehilangan 30% (hampir 6,7 juta ha) hutannya. Forest Watch Indonesia dan Global Forest
Watch (2002) memperkirakan bahwa jika kecenderungan ini terus berlangsung maka hutan dataran rendah bukan rawa di Sumatera akan punah sebelum tahun 2005, sedangkan hutan Kalimantan diperkirakan mengalami hal yang sama tahun 2010.
A. Penegakan Hukum Adat
Walaupun mengalami tekanan berat, banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Di banyak wilayah adat di pelosok nusantara masih ditemukan kawasan-kawasan hutan adat yang masih alami, bebas dari kegiatan penebangan kayu besar-besaran dan juga bertahan dari berbagai jenis eksploitasi sumberdaya alam lainnya, hanya dengan mengandalkan pengelolaan yang diatur dengan hukum adat. Banyak cerita sukses masyarakat adat dari pelosok nusantara mengusir proyek-proyek pembangunan yang merusak hutan adat. Di Lombok Utara, masyarakat adat melakukan perlawanan keras dan berhasil mengusir HPH PT. Angka Wijaya karena perusahaan ini melakukan penebangan haram di bagian kecil kawasan hutan yang sakral secara adat. Keprihatinan dan solidaritas bersama untuk menyelamatkan hutan adat ini bahkan berhasil menjadi basis pengorganisasian masyarakat adat untuk berjuang bersama mewujudkan otonomi desa adat dengan terbentuknya Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (PEREKAT OMBARA), bahkan dalam lewat organisasi ini
masyarakat adat sedang mempersiapkan diri untuk menjadi kabupaten sendiri, terpisah dari Kabupaten Lombok Barat.
B. Membangun Organisasi Masyarakat Adat
Perekat Ombara (Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara) adalah sebuah wadah yang dibangun untuk memperkuat solidaritas masyarakat di Lombok Utara. Perekat Ombara dideklarasikan pada gundem (pertemuan) V tokoh-tokoh kepala desa dari 25 desa di Lombok Utara tanggal 9 Desember 1999 di desa Bencingah, kec. Bayan. Berdasarkan hasil gundem Badan Pekerja Perekat Ombara pada tanggal 6 Mei 2000, maka visi Perekat Ombara adalah Membangun tatanan masyarakat yang berdaulat, demokratis dan transformatif, misi Perekat Ombara adalah Memberdayakan masyarakat adat dalam semua aspek pembangunan kekinian. Perekat Ombara adalah sebuah gerakan masyarakat yang berakar kepada persamaan budaya seluruh masyarakat yang ada di Lombok Utara.
Latar belakang terbentuknya Perekat Ombara adalah didasari bahwa peran serta masyarakat dan institusinya adalah sebagai subyek pembangunan. Dengan adanya otonomi pemerintahan desa, seharusnya dijadikan upaya strategis untuk melaksanakan revitalisasi dan reaktualisasi kearifan budaya lokal agar sistem perundang-undangan yang dibuat dapat mengakomodir kepentingan masyarakat.
Kearifan budaya lokal diapresiasikan oleh sebuah komunitas masyarakat yang terikat kuat secara hukum, sosial, budaya dalam bentuk seperangkat aturan-
aturan yang disebut hukum adat, atau yang di Lombok dan Bali disebut awig-awig. Implementasi sistem penguatan institusi masyarakat dan pranata lokal berbasis rakyat dilakukan dengan cara membuka ruang seluas-luasnya untuk merancang pembangunan di tingkat desa secara demokratis dan transparatif.
Demokrasi ala Lombok Utara adalah dengan menggali roh kehidupan masyarakat dalam sistem kepemimpinan kolektif. Kekuasaan tidak tunggal dipegang Kepala Desa tetapi bagian dari kepemimpinan kolektif diantara pemimpin lainnya, yang disebut dengan wet tu telu (wet = wilayah teritorial; tu = orang; telu = tiga) atau masing-masing teritorial (wilayah) punya pemimpin sendiri yaitu : wet agama, wet adat istiadat, dan wet pemerintah. Wet agama dipimpin oleh kiai, bikku atau pedanda sebagai pemegang norma agama, Wet adat istiadat dipimpin oleh seorang mangku (aparat) dengan sub-sub mangkunya, seperti mangkubumi (perairan), mangku alas (lingkungan hutan), dan lain-lain. Para mangku berperan sebagai perumus dan penentu awig-awig, pemberian sanksi adat dan pemimpin acara ritual adat. Wet pemerintahan dipimpin oleh pamusungan (kepala desa, berarti pucuk pimpinan utama). Kepemimpinan wet tu telu pernah dilakukan pada zaman kolonial Belanda dan orde lama sebelum diuniformisasi dengan UU no 5/1974 dan UU no 5/1979 tentang pemerintahan desa.
Dalam tubuh Perekat Ombara tidak saja dihasilkan mengenai kesepakatan, tetapi juga dihasilkan struktur dan pengurus yang bertugas untuk menggerakkan dan mendinamisir Perekat Ombara (juru urus), struktur kepengurusan dilengkapi
dengan Mahkamah Adat yang berfungsi sebagai wadah untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran adat (rat sasak). Revitalisasi majelis krama adat, sebagai aplikasi dari kekuatan trias politica, dilakukan dari krama gubug (tingkat RT dan RW ) hingga krama desa.
Uniknya, seluruh gerakan ini bukan dimulai dari sebuah gagasan besar solidaritas masyarakat adat, namun dari hasil keprihatinan terhadap degradasi lingkungan hutan. Menurut Kamardi, Pamusungan (kepala desa) Bentek dan Ketua Perekat Ombara, masyarakat baru menyadari hutannya rusak oleh aktivitas HPH PT Ongkowidjojo setelah mereka melakukan pemetaan partisipatif pohon keta (sejenis bahan baku lokal untuk pembuatan kerajinan masyakat) di hutan sekitar desa Bentek (Program YLKMP - Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesaan - yang didukung oleh GEF/SGP). Hutan yang selama ini diakui sebagai bagian dari kesatuan wilayah adat desa diserahkan sebagai areal konsesi. Sejak mulai beroperasi pada tahun 1982, ternyata bencana ekologis terjadi di wilayah ini. Karena lokasi HPH terletak di kawasan pegunungan maka areal di wilayahnya mengalami kesulitan air pada musim kemarau dan kebanjiran pada musim hujan. Di kawasan hutan Sekotong petilasan Kedaru yang dikeramatkan (berbentuk tinggalan menhir) dan makam Bebekeq, di kawasan hutan Sesaot, yang amat dikeramatkan masuk ke dalam areal konsesi. Akumulasi ketidakpuasan masyarakat pecah pada saat terjadi peristiwa pembakaran camp HPH pada bulan April 1999.
Keprihatinan ini menyebabkan beberapa tokoh kepala desa yang memiliki kasus serupa untuk bertemu untuk membicarakan masalah degradasi ekosistem hutan yang langsung berbatasan dengan desa masing-masing. Pertemuan-pertemuan selanjutnya, yang disebut dengan Pertemuan Masyarakat Adat Lombok Utara semakin banyak melibatkan para tokoh desa adat, tidak secara khusus berbicara tentang masalah degradasi lingkungan tetapi pengembangan wacana revitalisasi adat budaya sebagai upaya penggalangan solidaritas masyarakat dan mencari solusi untuk menangani masalah-masalah kemasyarakatan yang ada di Lombok utara. Dengan adanya peluang dan semangat otonomi daerah (UU Otonomi Daerah 22/1999) bergulir dan semakin marak penghimpunan diri 25 komunitas desa dalam wadah Persekutuan yang bersendikan institusi dan pranata lokal yang disepakati dalam sebuah kesepakata bersama antar komunitas desa atau yang dikenal dengan Dekrit 5 Juli 2000.
Salah satu isi Dekrit yang dihasilkan adalah berhubungan dengan pengelolaan wilayah hutan, yaitu pengawasan hutan tidak perlu dengan kehadiran jagawana tetap diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat dibawah pemangku alas dan dikawal oleh lang-lang (pam swakarsa). Dinamika dan geliat dari Perekat Ombara ini melahirkan gagasan dan wacana baru tentang pembentukan kabupaten Lombok Utara. Selama ini wilayah Lombok bagian utara merupakan bagian dari kabupaten Lombok Barat, dengan ibukota di Mataram. Dengan adanya perubahan situasi dan kondisi politik, dimungkinkan pemekaran
kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten induknya. Wacana ini sekarang sedang marak berkembang di Perekat Ombara dan berbagai organisasi kemasyarakatan lain yang ada di Lombok Utara. (Rizky R. Sigit. 2001. Telapak. Studi kasus dalam rangka Pengkajian Program Hibah Kecil Global Environmental Facility - GEF/SGP).
Di Kalimantan Barat, misalnya, PPSHK (SHK Kalbar) dan EAF (Ethno-Agro Forest) menemukan masih banyak kampung orang Dayak yang masih memiliki dan mempertahankan keaslian hutan keramat. Keteguhan keyakinan masyarakat adat atas kekeramatan hutan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mengendalikan dan bahkan menghentikan kerusakan hutan sebagaimana dilakukan oleh komunitas adat di Kampung Pendaun, Kabupaten Ketapang. Masyarakat adat di kampung ini tidak hanya gigih mempertahankan hutan keramat dari kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan resmi, tetapi juga dari para penebang liar.
C. Menghentikan Penebangan Liar dengan Menegakkan Hukum Adat Kehutanan
Dari zaman dulu sampai 20 tahun yang lalu, keadaan hutan di Kecamatan Simpakng Hulu masih utuh, keadaan sosial-budaya masih kuat, air sungai belum tercemar, masyarakat masih arif dalam megelola sumber daya hutan dan kebutuhan hidup sehari-hari kala itu masih mudah diperoleh. Tahun tujuh puluhan HPH mulai beroperasi di Kecamatan Simpakng Hulu, yang membuka jalan, yang mengakibatkan banyaknya orang luar masuk. Akibatnya hutan menjadi rusak, sungai mulai tercemar, hak-hak masyarakat adat dirampas, adat-budaya
masyarakat lokal luntur. Tahun delapan puluhan mulai masuk banyak rombongan penebang kayu ilegal dari luar.
Pada tahun 1997 PT Wahana Stagen Lestari (WSL), sebagai kontraktor PT Inhutani II, melanggar kawasan Tonah Colap Turun Pusaka (atau hutan lindung ala masyarakat adat yang luasnya 782 ha). Dari pelanggaran tersebut maka WSL di hukum secara adat oleh masyarakat Pendaun. Setelah di hukum adat WSL berhenti operasi di Tonah Colap. Ternyata dengan terhentinya operasi WSL penebangan hutan masih berlanjut. Dengan terbukanya jalan ke Tonah Colap Torun Pusaka, semakin banyak penebangan liar (illegal). Sekitar dua puluhan truk pengangkut kayu haram per hari beroperasi di Kampung Pendaun.
Sadar ada kerusakan hutan, masyarakat adat mengadakan pertemuan-pertemuan serta lokakarya yang intinya untuk pengukuhan kembali terhadap Tonah Colap Torun Pusaka yang meliputi kegiatan seperti: (1) inventarisasi partisipatif, dan (2) perintisan kawasan Tonah Colap Torun Pusaka. Ini dua langkah langkah untuk mencapai cita-cita masyarakat selanjutnya untuk menghentikan seluruh kegiatan yang merusak hutan.
Hasil dari seluruh kesempakatan pertemuan akhirnya di lakukanlah sumpah Tonah Colap Torun Pusaka, sekaligus mendirikan balai pabantatn (atau keramat) di Bukit Binakng. Setelah perintisan dan pendirian keramat, penebangan liar (ilegal) berhenti. Rombongan pekerja kayu liar (illegal) yang bekerja di sekitar kawasan Tonah Colap pun di hukum adat. Penghukuman terhadap perusahaan dan pembuatan Tanah Colap Torun Pusaka oleh masyarakat adat
Pendaun maka mengundang reaksi positif masyarakat adat di daerah sekitarnya untuk melakukan hal yang sama. Satu tahun terakhir ini banyak kampung-kampung masyarakat adat di kawasan Simpakng Hulu di Kabupaten Ketapang mendirikan dan mengukuhkan kembali hutan keramat Tanah Colap Torun Pusaka sebagai basis spritual untuk penegakan hukum adat bagi para penebang liar, baik dari masyarakat adat sendiri maupun dari pihak-pihak luar. (Jakobus Akon, seorang warga masyarakat adat Kampung Pendaun, dipresentasikan pada Ministrial Conference on Forest Law Enforcement and Governance, FLEG, di Denpasar, Bali, 11-13 September 2001).
D. Pranata Adat sebagai Kekuatan Utama Penjaga Hutan
Banyak di antara komunitas-komunitas masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk hidup lainnya. Dibandingkan dengan pihak-pihak berkepentingan lain, masyarakat adat mempunyai motif yang paling kuat untuk melindungi hutan adatnya. Bagi masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, menjaga hutan dari kerusakan merupakan bagian paling penting mempertahankan keberlanjutan kelangsungan kehidupan mereka sebagai komunitas adat. Motivasi ini didasari pada dua hal. Pertama adalah keyakinan atas hak-hak asal usul yang diwarisi dari leluhur. Masyarakat adat berbeda dari kelompok masyarakat yang lain, bukan semata-mata karena mereka rentan terhadap intervensi/hegemoni luar, tetapi karena mereka memiliki hak asal usul atau hak tradisional.
Mempertahankan hutan adat bukan sekedar tindakan konservasi tetapi merupakan tindakan mempertahankan hak adat/hak asal usul/hak tradisional mereka. Kedua, di samping untuk memtahankan hak, masyarakat adat juga menyadari posisinya sebagai penerima insentif yang paling besar jika hutan adatnya utuh dan terpelihara dengan baik. Sebagai penduduk yang sebagian besar kehidupannya tergantung dengan hutan adat, hutan adat yang lestari akan menjamin ketersediaan pangan, ramuan obat-obatan, air bersih, bahan bangunan dan kebutuhan primer lain bagi masyarakat adat. Bagi masyarakat adat yang kehidupannya sudah terintegrasi dengan ekonomi uang, hutan adat merupakan sumber berbagai jenis hasil hutan, baik berupa kayu maupun non kayu, yang bernilai jual tinggi untuk mendapatkan uang membiayai kebutuhan-kebutuhannya seperti menyekolahkan anak-anaknya, membayar pajak, membeli alat transportasi yang lebih cepat, membeli televisi, dan kebutuhan lain yang tidak bisa diproduksi sendiri. Di banyak komunitas masyarakat adat, hutan adat juga sangat penting dalam kehidupan budaya dan religi asli. Sebaliknya jika terjadi pengrusakan terhadap hutan adat, baik oleh mereka sendiri maupun oleh pihak-pihak luar, maka masyarakat adat akan menjadi korban yang paling menderita.
Berbagai penelitian juga telah membuktikan bahwa masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan asli yang arif dalam pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan atas sumberdaya hutan di wilayah adatnya. Sistem pengetahuan asli ini merupakan landasan bagi keberadaan cara-cara pengelolaan sumberdaya hutan dan hukum adat kehutanan yang khas dan berbeda satu sama lain di antara komunitas-komunitas adat.
Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan jika terjadi perbuatan-perbuatan yang bisa menyebabkan kerusakahan terhadap hutan adat. Sebagian dari hukum adat ini sudah melemah dan mengalami kekaburan sehingga perlu direvitalisasi dan diperkuat.
Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat untuk mengatur, menata, memperkuat dan menjaga berlangsungnya keharmonisan interaksi antara masyarakat adat dengan ekosistem hutan di sekitarnya.
Dengan berbagai pranata adat yang masih dimiliki masyarakat adat ini, mereka memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (community-based reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli komersial. Dengan pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat mampu mengelola usaha ekonomi komersial berbasis sumberdaya hutan yang ada di wilayah adatnya (community logging/portable sawmill, community forestry, credit union, dsb.) untuk mengatur dan mengendalikan "illegal logging" yang dimodali oleh cukong-cukong kayu, mengurangi "clear cutting" legal dengan IPK untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan resmi yang merusak hutan dan menindas masyarakat adat seperti IHPHH.

KESIMPULAN
 Dengan berbagai pranata adat yang masih dimiliki masyarakat adat, ini merupakan suatu kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan pemulihan kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH.
 Proses mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara hukum (mandatory) bagi hak-hak masyarakat adat atas hutan adat secara nasional membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu diperlukan skema yang sifatnya sukarela (voluntary) agar prakarsa-prakarsa masyarakat adat dalam perlindungan hutannya dan pemberantasan penebangan liar di wilayah adatnya mendapatkan insentif dari berbagai pihak pendukung, termasuk dari pemerintah.
 Hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sehingga pengelolaannya dapat terjaga dan terkendali kelestarian hutan dan kesejahteraan serta keberlangsungan hidup dapat dirasakan oleh masyarakat tersebut.
TUGAS

Ekonomi Perusahaan Hutan
(PDRB & PDRB Hijau)

LA ODE KAIMAN HAQ
D1 B5 06 041

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012

PENGERTIAN PDRB

(Produk Domestik Regional Bruto)
Untuk menghindarkan penafsiran maka pemahaman atas konsep dan definisi yang digunakan sangat diperlukan.
2.1.1. Produk Domestik dan Produk Regional
Semua barang dan jasa sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik, tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh penduduk daerah tersebut, merupakan “Produk Domestik” daerah bersangkutan. Pendapatan yang timbul oleh karena adanya kegiatan produksi tersebut merupakan “Pendapatan Domestik”.
Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian dari faktor produksi yang digunakan dalam kegiatan produksi di suatu daerah berasal dari daerah lain atau dari luar negeri, demikian juga sebaliknya faktor produksi yang dimiliki penduduk daerah tersebut dapat ikut serta dalam proses produksi di daerah lain atau di luar negeri. Hal ini menyebabkan nilai produk domestik yang timbul di suatu daerah tidak sama dengan pendapatan yang diterima penduduk daerah tersebut.
Dengan adanya arus pendapatan yang mengalir antar daerah (termasuk juga dari dan ke luar negeri) yang pada umumnya berupa upah/gaji, bunga, deviden dan keuntungan maka timbul perbedaan antara Produk Domestik dan Produk Regional.
Produk Regional adalah Produk Domestik ditambah dengan pendapatan yang diterima dari luar daerah/negeri dikurangi dengan pendapatan yang dibayarkan keluar daerah/negeri tersebut. Akan tetapi untuk mendapatkan angka-angka tentang pendapatan yang mengalir keluar dan masuk ke suatu daerah (yang secara nasional dapat diperoleh dari neraca pembayaran luar negeri) masih sangat sulit saat ini, hingga Produk Regional ini belum dapat dihitung. Untuk sementara dalam perhitungan ini Produk Regional dianggap sama dengan “Produk Domestik Regional Netto (PDRN) Atas Dasar Biaya Faktor”.
Bila Pendapatan Regional ini dibagi dengan jumlah penduduk yang tinggal di region tersebut, maka dihasilkan Pendapatan Per Kapita.
2.1.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Pasar
Angka Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Pasar dapat diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto (Gross Value Added) yang timbul dari seluruh sektor ekonomi di wilayah itu. Yang dimaksud dengan nilai tambah bruto adalah nilai lebih yang timbul setelah melalui suatu proses produksi atau nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara. Nilai tambah bruto disini mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tak langsung netto. Dengan menghitung nilai tambah bruto dari masing-masing sektor dan menjumlahkan nilai tambah bruto dari seluruh sektor, akan diperoleh Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Pasar.
2.1.3. Produk Domestik Regional Neto (PDRN) Atas Dasar Harga Pasar
Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Pasar dikurangi penyusutan akan diperoleh Produk Domestik Regional Netto Atas Dasar Harga Pasar. Penyusutan yang dimaksud adalah nilai susut (ausnya) dari barang-barang modal yang terjadi selama barang tersebut ikut serta dalam proses produksi.
2.1.4. Produk Domestik Regional Neto (PDRN) Atas Dasar Biaya Faktor
Perbedaan antara konsep biaya faktor dengan harga pasar adalah karena adanya pajak tidak langsung yang dipungut oleh pemerintah dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada unit-unit produksi. Pajak tidak langsung yang dibayar oleh perusahaan terdiri dari iuran wajib ke pemerintah yang diberlakukan sebagai biaya untuk kegiatan produksi. Pajak tidak langsung ini termasuk segala jenis pajak yang dikenakan atas kegiatan produksi, penjualan, pembelian atau penggunaan barang dan jasa oleh perusahaan. Suatu perusahaan/usaha dapat membayar pajak tidak langsung kepada Pemerintah Daerah maupun ke Pemerintah Pusat.
Pajak Tidak Langsung ini meliputi pajak penjualan, bea ekspor, cukai dan lain-lain pajak, kecuali pajak pendapatan dan pajak perseorangan. Pajak tidak langsung dan subsidi mempunyai pengaruh terhadap harga barang-barang. Pajak berpengaruh menaikkan harga sedangkan subsidi menurunkan harga. Pajak tidak langsung neto diperoleh dari pajak tidak langsung dikurangi subsidi. Produk
Domestik Regional Netto Atas Dasar Harga Pasar dikurangi pajak tidak langsung neto, hasilnya adalah Produk Domestik Regional Neto Atas Dasar Biaya Faktor.
2.1.5. Ringkasan Agregat PDRB
Dari uraian di atas, maka konsep-konsep yang dipakai dalam Produk Domestik Regional Bruto adalah sebagai berikut :
 Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Pasar (GRDP at Market Prices), dikurangi penyusutan akan sama dengan ;
 Produk Domestik Regional Neto Atas Dasar Harga Pasar (NRDP at Market Price) dikurangi pajak tidak langsung neto akan sama dengan ;
 Produk Domestik Regional Neto Atas Dasar Biaya Faktor (NRDP at Factor Cost) ditambahkan pendapatan neto yang mengalir dari / ke daerah lain akan sama dengan ;
 Pendapatan Regional (Regional Income) dikurangi pajak pendapatan perusahaan (Cooperate Income Tax), keuntungan yang tidak dibagikan (Undistributed Profit), iuran kesejahteraan sosial (Social Security Contribution) ditambah transfer yang diterima oleh rumah tangga, bunga neto atas bunga pemerintah akan sama dengan ;
 Pendapatan Orang – Seorang (Personal Income) dikurangi pajak rumah tangga, transfer yang dibayarkan rumah tangga, akan sama dengan ;
 Pendapatan Yang Siap Dibelanjakan (Disposible Income).
PDRB Hijau Kabupaten Karangasem
Sejalan dengan Peraturan Presiden RI No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 yang menetapkan penyusunan PDB Hijau sebagai kegiatan dalam Program Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi SDA dan LH, maka kegiatan sosialisasi dan penyempurnaan penghitungan PDRB Hijau perlu dilaksanakan. Menyikapi keputusan tersebut Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VIII atau BPKH Wilayah VIII menyambut positif dengan melakukan ujicoba penghitungan kontribusi hijau sektor kehutanan terhadap PDRB.
Berbagai pihak telah menyadari bahwa hutan memiliki peranan yang sangat penting bagi keberhasilan pembangunan baik secara nasional maupun pembangunan di daerah. Oleh sebab itu keberadaan hutan memerlukan adanya penilaian yang lebih lengkap serta menyeluruh terhadap semua produk dan jasa atau manfaat yang dihasilkannya. Berbagai upaya telah dirintis oleh banyak pihak untuk memulai memperhitungkan dimensi lingkungan dalam aktifitas kegiatan pembangunan sebagai dasar bagi keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mengintegrasikan nilai-nilai depresiasi yang mencakup nilai deplesi dan degradasi lingkungan sektor kehutanan pada nilai kontribusi sektor kehutanan secara menyeluruh termasuk industri kayu dan hasil hutan lainnya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Metodologi Penyusunan Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan
Secara konvensional PDRB merupakan ukuran keberhasilan kinerja pembangunan suatu daerah baik itu kabupaten, kota maupun provinsi. Pada dasarnya PDRB merupakan seluruh jumlah barang dan jasa akhir (final product) yang dihasilkan oleh suatu kegiatan perekonomian atau pembangunan regional (daerah) baik kabupaten, kota maupun provinsi, dalam waktu satu tahun yang dinyatakan dalam nilai rupiah.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau merupakan pengembangan dari PDRB Coklat atau kovensional. PDRB Coklat sendiri merupakan catatan tentang jumlah nilai rupiah dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu daerah (provinsi/Kabupaten/Kota) dalam waktu satu tahun. Nilai PDRB suatu daerah sebenarnya adalah nilai tambah yang diciptakan oleh semua sektor usaha didaerah tersebut.
Untuk membuat agar nilai-nilai yang ada didalam PDRB mencerminkan nilai kesejahteraan yang sebenarnya dari hasil kegiatan perekonomian atau pembangunan suatu daerah, maka perlu dilakukan penghitungan PDRB yang disesuaikan (adjusted gross regional domestic bruto/ GRDP) yang disebut juga sebagai PDRB Hijau yaitu dengan memasukan kedalam penghitungan PDRB (Coklat) nilai deplesi sumberdaya alam dan kerusakan (degradasi) lingkungan yang ditimbulkan sebagai produk yang tidak diinginkan (undisirable outputs). Dengan demikian nilai PDRB yang telah disesuaikan tersebut dapat dijadikan
acuan dasar yang lebih komprehensif bagi perencanaan pembangunan yang berkelanjutan dan lingkungan disamping faktor-faktor lainnya.
Cara menghitung PDRB
Tiga pendekatan utama dalam menghitung PDRB, yaitu :
1. Menjumlahkan seluruh nilai tambah dari setiap sektor kegiatan ekonomi,
2. Menjumlahkan semua jenis pendapatan yang diperoleh oleh para pemilik faktor produksi seperti tenaga kerja,modal, alat, perlengkapan dan sumberdaya alam serta keahlian.
3. Menjumlahkan seluruh pengeluaran setiap kegiatan di masing-masing sektor.
Penghitungan PDRB Semi Hijau
PDRB Semi Hijau adalah hasil pengembangan PDRB Coklat dengan memasukan dimensi lingkungan (deplesi SDA dan kerusakan lingkungan) ke dalam perhitungan PDRB Konvensional. PDRB Konvensional yang disebut juga dengan PDRB Coklat dikurangi dengan nilai deplesi dari sektor kehutanan sehingga hasil yang didapatkan adalah PDRB Semi Hijau
Penghitungan PDRB Hijau
Untuk sampai pada nilai PDRB Hijau, terhadap nilai-nilai pada PDRB Semi Hijau masih harus dikurangi lagi nilai kerusakan atau degradasi lingkungan, sehingga akhirnya diperoleh nilai PDRB Hijau yang sebenarnya.
Penyusunan Kontribusi Hijau Sektor Kehutanan
Sebagai langkah awal dalam penyusunan kontribusi hijau sektor kehutanan, ditentukan ruang lingkup studi khususnya berkaitannya dengan wilayah studi, yakni Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Kabupaten ini dipilih karena dalam studi ini menitik beratkan kajian pada kontribusi hijau sektor kehutanan di wilayah tersebut dimana Kabupaten Karangsem masih memiliki kawasan hutan yang cukup luas. Oleh karenanya dalam meninjau laporan PDRB Kabupaten Karangasem, sektor yang menjadi perhatian dalam studi ini adalah sub sektor kehutanan, sektor pertanian dan industri pengolahan hasil hutan pada sub sektor industri pengolahan non migas, sektor industri pengolahan. Dengan semikian, secara singkat tahapan studi ini meliputi :
a. Mengkaji sektor yang berkaitan dengan sektor kehutanan (sub sektor kehutanan dan industri pengolahan hasil hutan) yang memberikan kontribusi pada PDRB Kabupaten Karangasem.
b. Mengidentifikasi semua jenis dan volume sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu yang digunakan dan diambil baik secara langsung maupun tidak langsung dan memiliki nilai ekonomi di wilayah tersebut. Untuk ini informasi dapat diperoleh dari Dinas Perindustrian dan juga Kantor badan Statistik Daerah, serta wawancara langsung dengan beberapa perusahaan dan industri sampel.
c. Melakukan valuasi ekonomi terhadap sumberdaya hutan yang digunakan atau yang diekstrak dari hutan. Valuasi dilakukan dengan pendekatan nilai pasar
untuk produk-produk yang memiliki nilai pasar dan dipasarkan atau menggunakan nilai barang pengganti dan barang pelengkapnya, atau dengan contingent valuation yaitu kesediaan membayar atau kesediaan menerima pembayaran untuk produk yang tidak memiliki nilai pasar atau untuk menaksir nilai kerusakan lingkungan. Data harga diperoleh dari data sekunder ataupun data primer dari perusahaan yang terlibat dalam proses produksi dan penggunaan sumberdaya alam.
d. Menghitung volume kerusakan akibat deplesi sumberdaya hutan dan menghitung pula dampak negatif yang ditimbulkan akibat adanya proses produksi industri hasil hutan. Khusus dalam menghitung dampak negatif yang timbul akibat pengolahan industri hasil hutan ini digunakan berbagai metode yang paling mendekatai angka degradasi, misalnya dengan metode prevention cost yaitu dengan menginternalkan biaya biaya pengolahan limbah pada hasil akhir industri pengolahan. Selain itu, metode lain yang digunakan adalah metode observasi langsung dan metode perkiraan dengan menggunakan benefit transfer. Kemudian valuasi ekonominya dapat menggunakan metode biaya pengganti (replacement costs) dan metode pendapatan yang hilang (forgone income).
e. Setelah nilai deplesi, degradasi lingkungan dan degradasi industri pengolahan hasil hutan dapat dihitung, selanjutnya nilai-nilai tersebut dikurangkan dari kontribusi sektor kehutanan sehingga akan diperoleh nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB.
f. Kontribusi riil sektor kehutanan pada pembangunan diperoleh dengan jalan menjumlahkan kontribusi sektor kehutanan dengan depresiasi lingkungan kemudian dikurangi dengan degradasi industri pengolahan hasil hutan.
Kesimpulan
1. Secara umum, sumberdaya hutan selain memberikan nilai tambah melalui produksi kayu dan hasil hutan lainnya, juga menjadi sumber pendapatan negara maupun sumber devisa. Hutan juga (termasuk hutan di Kabupaten Karangasem) memberikan kontribusi dalam bentuk jasa lingkungan antara lain sebagai pengaman lingkungan dari berbagai bencana banjir dan kekeringan, memelihara fungsi tata air, penyerapan karbon sehingga mengurangi pemanasan global dan memperbaiki kualitas udara serta sebagai habitat flora dan fauna.
2. Kontribusi sektor kehutanan di Kabupaten pada pembangunan regional dinilai sebagai jumlah pemanfaatan hutan secara langsung oleh masyarakat sekitar hutan dalam pemanfaatannya untuk kebutuhan sehari-hari misalnya kayu bakar. Nilai tambah yang dihasilkan berasal dari penghasilan dari faktor produksi seperti upah/gaji, sewa, bunga modal dan laba yang diciptakan oleh kegiatan ekonomi sedangkan fungsi jasa lingkungan hutan yang meliputi fungsi lindung maupun fungsi konservasi belum diberi nilai dalam penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten.
3. Kontribusi sektor kehutanan yang memasukan dimensi lingkungan (deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan) disebut sebagai kontribusi hijau sektor kehutanan, terhadap pembangunan nilai deplesi sumberdaya alam ditambah dengan nilai degradasi lingkungan disebut sebagai penyusutan (depresiasi) sumberdaya alam dan lingkungan.
4. Nilai deplesi sumberdaya hutan adalah sama dengan nilai pengambilan sumberdaya hutan atas dasar penggunaan, sedangkan nilai degradasi lingkungan adalah sama dengan menurunnya nilai jasa lingkungan atas dasar penggunaan tidak langsung seperti fungsi konservasi air dan tanah, fungsi penyerap karbon, fungsi pencegah banjir, dan fungsi keanekaragaman hayati, termasuk degradasi lingkungan yang dinilai atas dasar tanpa melalui penggunaan seperti nilai opsi (option value) dan nilai keberadaan (existence value) akibat pengambilan sumberdaya hutan.
5. Kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB dapat dilihat dari pemanfaatan hutan secara tidak langsung oleh masyarakat sekitarnya yang menciptakan kegiatan ekonomi setelah dikurangi dengan kebakaran dan pencurian atau tebangan.
6. Nilai deplesi sumberdaya hutan diperoleh dengan pendekatan kebakaran hutan dan pencurian kayu yaitu mengalikan unit rent dengan volume kayu yang dideplesi. Total deplesi hutan dari tahun 2004 hingga tahun 2006 berturut-turut adalah Rp. 26,650 juta, Rp. 15,80 Juta dan Rp. 108,00 juta. Kebakaran hutan pernah terjadi di Kecamatan Rendang, Abang, Kubu, dan Daya pada tahun 2004, di Kecamatan Abang dan Daya tahun 2005 dan di
Kecamatan Rendang, Manggis, Abang, Kubu dan Daya tahun 2006. Pencurian kayu pernah terjadi di Kecamatan Rendang tahun 2004, di kecamatan Rendang dan Daya tahun 2005, dan di Kecamatan Rendang pada tahun 2006. Jika dibandingkan kebarakan hutan dengan pencurian kayu, luas kebakaran hutan jauh lebih besar dari luas pencurian kayu.
7. Nilai degradasi lingkungan karena kerusakan hutan akibat tebangan atau pencurian dan kebakaran di Kabupaten Karangasem berupa konservasi tanah dan air, penyerapan karbon, pencegah banjir, transportasi air dan keanekaragaman hayati mulai tahun 2004 hingga tahun 2006 berturut-turut adalah Rp. 13,03 juta, Rp. 7,97 juta dan Rp. 49,15 juta.
8. Nilai kontribusi sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten Karangasem dapat diketahui dengan mengurangkan nilai depresiasi sektor kehutanan dari nilai kontribusi konvensional pada PDRB Kabupaten Karangasem. Mulai tahun 2004 hingga tahun 2006 berturut-turut nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten Karangasem adalah Rp. 54,67 juta, Rp. 75,76 juta, dan – Rp. 46,93 juta.
9. Nilai kontribusi hijau sektor kehutanan pada PDRB Kabupaten Karangasemyang negatif artinya nilai manfaat yang diciptakan oleh sektor kehutanan sebagaimana dilaporkan dalam PDRB (coklat) Kabupaten Karangasem lebih kecil daripada nilai modal alami yang dikorbankan karena terdeplesi dan terdegradasi.
10. dari berbagai penemuan diatas dapat dinyatakan manfaat dari penyusunan PDRB Hijau pada umumnya dan kontribusi hijau sektor kehutanan pada khususnya terhadap PDRB, yaitu:
 Menghindari bias perhitungan kinerja pembangunan ekonomi suatu daerah
 Rencana dan kebijakan pembangunan kehutana daerah dapat disusun berdasarkan kondisi faktual yang ada serta lebih sempurna dan terarah,
 Mengetahui besarnya nilai deplesi dan kerusakan lingkungan hutan sebagai dasar untuk mengontrol kerusakan sumberdaya hutan,
 dMemberikan penilaian wajar pada keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan,
 Sebagai masukan dalam penentuan besar kecilnya pungutan atau ganti rugi kerusakan lingkungan,
 Sebagai masukan dalam rangka menghitung kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan suatu daerah,
 Untuk memahami struktur perekonomian yang lebih realistik,
 Mengetahui sumbangan sektoral yang faktual terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, akan menambah motivasi penyelenggara pemerintahan untuk mengelola sumberdaya hutan yang ada.